JAKARTA, beritapalu | Hingga 27 Desember 2021, masih ada sekitar 51 juta warga Indonesia belum menerima vaksin dosis I COVID-19. Namun, pemerintah mulai akan memberikan vaksin dosis ketiga atau lazim disebut sebagai booster.
Pemberian dosis III vaksin COVID-19 penting untuk memaksimalkan pembentukan kekebalan komunitas (herd immunity). Namun menurut Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Vaksinas bagi Masyarakat Adat dan Kelompok Rentan, hak warga negara yang sama sekali belum tersentuh program vaksinasi, terutama sejak dosis I, hendaknya tidak dilupakan.
Pengurus Filantropi Indonesia Hamid Abidin, salah satu organisasi anggota koalisi mengatakan, keberadaan kelompok rentan di beberapa daerah, lebih-lebih di luar Jawa, mesti disadari di tengah upaya pemerintah menggencarkan booster. Pasalnya, akses vaksinasi bagi masyarakat adat, warga pelosok, penyandang disabilitas, atau kelompok rentan lain tak semudah warga umum yang tinggal di dekat pusat kota.
“Kami sudah berupaya membantu pemerintah untuk memfasilitasi vaksinasi. Ternyata banyak yang belum divaksin,” ujar Hamid Abidin, Selasa (28/12/2021).
Selama program vaksinasi berlangsung, Koalisi telah ikut menyuntikkan vaksin bagi masyarakat adat dan kelompok rentan. Hingga hari ini, lebih dari 141.255 dosis telah diberikan kepada masyarakat adat, warga daerah terpencil, penyandang disabilitas, lansia, perempuan kepala keluarga, petani, nelayan, buruh, dan transgender.
Cakupan bantuan Koalisi pun luas. Sepanjang Agustus–Desember, Koalisi telah menyokong pemberian vaksin dosis I dan II setidaknya di 24 provinsi. Daerah itu meliputi Sumatera (Aceh, Riau, Palembang, Jambi, Lampung, Bengkulu), Kalimantan (Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah), Jawa (Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur) Bali, NTB, NTT, Sulawesi (Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara), Maluku Utara, dan Papua Barat.
Menurut Hamid, perkara lokasi dan status sebaiknya tidak menjadi penghalang bagi pemerataan program. Jangan sampai ada warga menerima booster, tapi banyak warga lain sama sekali tidak beroleh vaksin hanya karena tinggal di wilayah terpencil atau sulit mengakses vaksin.
“Jadi, pemerintah yang memiliki sumber daya perlu memberi perhatian dan mendukung vaksinasi kelompok rentan,” kata dia.
Ia menyebutkan, memberikan vaksin pada masyarakat adat dan kelompok rentan tidak mudah. Beragam kendala, mulai dari hoaks, sosialisasi, data, penyelenggaraan, hingga akses ke lokasi vaksinasi.
Ketua Tanggap Darurat Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) Annas Radin Syarif menyatakan, ihwal kendala lokasi dan kondisi geografis yang membatasi kalangan masyarakat adat akhirnya juga menyulitkan upaya sosialisasi untuk kalangan tersebut.
“Kadang minat mereka untuk divaksin turun, karena lokasi vaksinasi jauh di kota,” kata Annas.
Akan hal kalangan disabilitas, problem utamanya pun khas, yakni data. Menurut Ketua Umum Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Maulani Rotinsulu, data penyandang disabilitas pada dinas-dinas terkait begitu minim. Dan bukan HWDI saja yang bersua dengan data tersebut. Organisasi Harapan Nusantara (OHANA) demikian pula. Ini membuat OHANA harus mengumpulkan informasi sendiri dari komunitas penyandang disabilitas, sebagaimana diakui salah satu pendirinya, Buyung Ridwan Tanjung.
“Di sisi lain, sentra-sentra vaksin terbatas karena tak dilengkapi dengan fasilitas pendukung bagi disabilitas,” ujar Maulani.
Petani dan nelayan sebagai bagian dari kelompok rentan bukan tanpa masalah. Mereka didera konflik terkait sumber daya alam. Menurut Edo Rakhman, Deputi Eksternal Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), beban para petani, masyarakat adat, dan warga pesisir semakin berat karena mereka juga mesti menanggung akibat dari krisis iklim.
“Untuk itu, mereka harus menjadi prioritas sasaran vaksinasi,” katanya.
Satu tantangan yang banyak ditemui pada kelompok rentan—bukan saja masyarakat adat—adalah berseraknya hoaks. Dampak ikutannya parah. Sebab, peredaran informasi palsu menurunkan minat kelompok rentan untuk menerima vaksin menyusul lemahnya akses mereka terhadap informasi.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan per 27 Desember 2021, dosis I vaksin COVID-19 telah disuntikkan kepada 157,24 juta orang dari target vaksinasi 208,26 juta orang. Angka tersebut setara 75,5 persen. Artinya, masih ada 51 juta orang bahkan belum mendapatkan vaksin dosis I.
Di sisi lain, terdapat warga yang malah telah menerima booster dengan melakukan akal-akalan. Menurut laporan BBC Indonesia, Jumat, 24 Desember 2021, beberapa dari penerima mengubah data pekerjaan menjadi tenaga kesehatan. Bahkan ada pula di antara mereka yang ditawari oleh kepala daerah atau makelar. Namun, booster dimaksud tak tercatat dalam aplikasi PeduliLindungi.
Itu termasuk pelanggaran. Sebab, menurut Surat Edaran (SE) Kementerian Kesehatan Nomor HK.02.01/I/1919/2021, vaksin dosis III hanya diperuntukkan bagi tenaga kesehatan, asisten tenaga kesehatan, dan tenaga penunjang yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan.
Dengan sejumlah alasan tersebut, Koalisi berharap pemerintah dapat memprioritaskan pemberian vaksin dosis I bagi masyarakat adat dan kelompok rentan ketimbang menyuntikkan booster kepada masyarakat umum.
Koalisi menghendaki pemerintah—terutama di daerah—untuk memperkuat komunikasi dan koordinasi demi mempermudah vaksinasi bagi masyarakat adat dan untuk komunitas di wilayah terpencil. Perlu dipastikan juga bahwa kelompok rentan yang belum memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) tak menemui hambatan administratif agar mendapatkan vaksin.
Selain itu, Koalisi juga meminta supaya pemerintah memperbarui data tentang penyandang disabilitas agar hak mereka atas vaksin terpenuhi dan aksesnya terhadap vaksin menjadi lebih luas. Penyelenggaraan vaksin juga perlu mempertimbangkan fasilitas pendukung agar kalangan disabilitas dapat mengakses lokasi vaksin. Satu hal utama yang perlu juga dilakukan pemerintah adalah menggalakkan sosialisasi dan edukasi tentang pentingnya vaksinasi agar masyarakat bersih dari hoaks, mendapatkan informasi yang benar, dan minat vaksinasinya tumbuh. (afd/*)