Memulai Dekarbonisasi dari Level Tapak Catatan Dari Tepian Hutan Sulawesi Tengah

PERHELATAN United Nations Forum Conference on Climate Change (UNFCC) COP 29 di Azerbaijan akan segera dilaksanakan pada tanggal 11 – 22 November 2024. Tentu perhatian dunia akan tertuju pada pertemuan tahunan itu, karena sangat menentukan bagi sejarah umat manusia dalam menyepakati target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK). Dimana target ambisius untuk menyelamatkan planet bumi ini dari krisis iklim global adalah net zero emission pada tahun 2060.
Pasca ratifikasi Perjanjian Paris (Paris Agreement) melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016, pemerintah Indonesia telah berkomitmen mengurangi emisi GRK. Dengan target sebesar 29% dengan upaya sendiri, dan menjadi 41% atas dukungan global. Hal itu tertuang dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) yang dikeluarkan pada tahun 2016.
Dalam perkembangan selanjutnya atas permintaan UNFCCC, pemerintah telah meningkatkan target tersebut menjadi 31,89% atas upaya sendiri, dan sebesar 43,20% atas dukungan global. Hal itu dituangkan dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) pada tahun 2024.
Lantas bagaimana melihat kontribusi Sulawesi Tengah untuk pengurangan emisi GRK? Sepanjang kurun waktu 2010 – 2012, Provinsi Sulawesi Tengah menjadi wilayah percontohan (Pilot Project) di Indonesia untuk uji coba kesiapan implementasi REDD+. Melalui dukungan dari UNREDD programme Indonesia dan BP REDD Indonesia.
Pembentukan Kelompok Kerja Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (POKJA REDD+) Sulawesi Tengah menandai pelembagaan program percontohan uji coba REDD+ tersebut. Melalui Keputusan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor: 522/82/DISHUTDA-G.ST/2011, tertanggal 18 Februari 2011. Dengan empat fokus utama; pertama, kebijakan terkait implementasi REDD+; kedua, kelembagaan dan metodologi; ketiga, aktivitas percontohan; keempat, peningkatan kapasitas masyarakat adat/lokal melalui prinsip Free Prior and Informed Consent.
Ada sejumlah manfaat yang diperoleh Sulawesi Tengah dengan menjadi wilayah percontohan uji coba kesiapan REDD+ semasa itu. Manfaat tersebut antara lain, Sulawesi Tengah melahirkan beberapa kebijakan daerah yang dapat dijadikan pedoman bersama multi pihak. Misalnya, Strategi Daerah REDD+ (STRADA REDD+), Rencana Aksi Daerah Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD GRK), Kriteria dan Indikator Lokasi Demonstration Activity, instrument Free Prior and Informed Consent (FPIC), serta pembentukan kelembagaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi 13 unit KPH di tingkat tapak dari total luasan kawasan hutan yang mencapai 4,2 juta Hektar. Bahkan, ketika itu pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah sempat mendeklarasikan kontribusi pengurangan emisi GRK sebesar 3% dari rata-rata nasional.
Kritik Dekarbonisasi
Tentu kita harus mengapresiasi bahwa telah ada capaian di tingkat nasional untuk pengurangan emisi GRK di sektor energi. Berdasarkan rilis Kementrian ESDM pada bulan Januari 2024, disebutkan bahwa Indonesia telah berhasil mengurangi emisi GRK sektor energi sebesar 127.67 Ton Emisi.
Namun, sebagai suatu Impian bersama, selain harus kita dukung penuh, tentu kita juga mesti memberikan catatan kritis terhadap upaya global ini. Dalam konteks Sulawesi Tengah, catatan utama kita ialah tidak berbanding lurus antara upaya menuju dekarbonisasi dengan upaya mitigasi yang dibangun dan dikembangkan.
Misalnya industri hilirisasi nikel di Morowali dan Morowali Utara, untuk menggerakan manufakturnya yang mengandalkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU Captive) dari energi kotor seperti batu bara. Tentu menghasilkan lepasa emisi CO2 yang besar ke atmosfer, sehingga berbahaya bagi kesehatan lingkungan mahluk hidup, menambah tingkat polusi udara, serta jejak karbon yang bertentangan dengan semangat dekarbonisasi.
Beragam aktivitas pemulihan ekosistem seperti rehabilitasi hutan dan lahan, restorasi mangrove, perbaikan tata kelola Daerah Aliran Sungai (DAS), serta penguatan agroforestri dan lahan pertanian, tidak akan cukup menahan laju jejak karbon yang setiap hari dihasilkan dari penggunaan PLTU Captive di sentra hilirisasi nikel.
Transisi energi dari kotor ke energi baru dan terbarukan adalah solusinya. Namun, transisi energi tersebut hanya dapat diterapkan jika keadilan energi dijalankan sebagai fundamental pengelolaan energi berkelanjutan di nasional maupun daerah.
Memang tidak mudah bagi setiap negara termasuk Indonesia untuk memilih transisi energi sebagai arus utama dekarbonisasi. Karena berkaitan erat dengan siklus ekonomi, dimana hamper semua ditopang oleh konsumsi bahan bakar fosil dan batu bara yang memiliki jejak karbon tinggi, serta tidak berkelanjutan.
Pilihan ke enrgi berish dan terbarukan seperti air, panas bumi, angin dan panas matahari dapat dimulai dengan peta jalan tata kelola energi (sustainable energy road map) yang partisipatif, inklusif dan akuntabel. Kementrian Energi Dan Sumber Daya Minerla (ESDM) sebagai sektor utama yang dapat memimpin peta jalan tersebut. Terlebih lagi di Sulawesi Tengah, semua potensi energi bersih dan terbarukan itu tersedia di hampir semua Kabupaten/Kota.
Perlu diingat bahwa sektor penggunaan energi menyumbangkan 34% dari total emisi gas rumah kaca nasional, atau yang terbesar dari semua sektor penyumbang emisi GRK, melampaui sektor penggunaan hutan dan lahan, industri manufaktur, transportasi, dan pengelolaan limbah. Oleh sebab itu, melalui Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK), terdapaat fokus pengurangan jejak karbon di masing-masing sektor. Walaupun masih mengandalkan perdagangan karbon sebagai opsinya.
Dalam PERPRES NEK itu, disebutkan besaran karbon yang akan dikurangi di setiap sektornya. Untuk energi, terutama penggunaan PLTU, akan ada agenda merehatkan sejumlah PLTU (early retirement). Dengan kompensasi merehatkan atau mempensiunkan PLTU tersebut, kemungkinan Indonesia akan mendapatkan pembayaran sebesar USD 21,6 Milyar, melalui dukungan dari program Just Energy Transition Partnership (JEST) yang diperoleh dari KTT G20 tahun 2022.
Dari tingkat tapak di Sulawesi Tengah, ada beragam praktik energi bersih dan terbarukan yang telah dilakukan oleh komunitas setempat. Ada yang menggunakan mikrohidro, PLTS mini, bahkan mungkin baling-baling mini untuk menghasilkan energi listrik bagi kebutuhan rumah tangga. Untuk keperluan dapur, semakin berkurang penggunaan kayu bakar, sebab potensi arang dari tempurung dan sabuk kelapa sangat melimpah di daerah ini. Bahkan ada segelintir yang sudah menggunakan kompos atau biogas untuk keperluan bahan bakar di dapur.
Khusus potensi limbah kelapa untuk bahan baku briket arang, Sulawesi Tengah dapat didorong sebagai wilayah percontohan nasional di wilayah timur Indonesia. Selain karena potensinya melimpah, juga secara praktik keseharian warga telah memanfaatkannya sebagai bahan bakar di dapur.
Kebijakan nasional dekarbonisasi seharusnya juga melirik praktik cerdas dekarbonisasi di tingkat tapak. Sehingga perlu upaya rekognisi, proteksi, promosi, kompensasi bahkan insentif terhadap kelompok-kelompok komunitas yang telah mempraktikan dekarbonisasi dimulai dari level terkecil di rumah tangga.
——————————–
*) Penulis, saat ini Direktur Eksekutif Yayasan Ekologi Nusantara Lestari (EKONESIA), pernah menjadi Anggota Dewan Nasional WALHI priode 2016-2021, dan Koordinator PANTAU REDD+ Sulteng tahun 2011-2013.