JAKARTA, beritapalu | Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Vaksinasi bagi Masyarakat Adat dan Kelompok Rentan meminta Kementerian Kesehatan mengalokasikan secara khusus vaksin Janssen untuk masyarakat adat dan kelompok rentan di luar Jawa, penyandang disabilitas, atau kelompok rentan lainnya.
Permintaan itu setelah Indonesia menerima 500 ribu dosis vaksin Janssen dari Belanda, Sabtu (11/9/2021) lalu. Namun, Wakil Menteri Kesehatan dr. Dante Saksono Harbuwono menyatakan akan mengalokasikan vaksin ini ke wilayah aglomerasi di Pulau Jawa yang masih rendah vaksinasinya.
Sebelumnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga telah memberikan izin penggunaan darurat atau EUA (Emergency Use Authorization) untuk penyuntikan vaksin ini. Vaksin Janssen ini diproduksi oleh perusahaan farmasi Johnson & Johnson dan diperuntukkan bagi masyarakat umum yang berusia 18 tahun ke atas dengan dosis tunggal sebanyak 0,5 mililiter.
BPOM sudah menguji tingkat efektivitas vaksin ini, bisa mencegah gejala COVID-19 secara keseluruhan sebesar 67,2 persen. Keunggulan lain vaksin ini adalah hanya perlu disuntikkan satu kali saja.
Menurut Hamid Abidin, Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia, penggunaan vaksin sekali suntik dari Johnson & Johnson ini, khususnya di luar Jawa, akan membuat vaksinasi lebih efisien karena tak perlu dua kali penyelenggaraan vaksinasi.
“Efisiensi ini bermanfaat bagi pemerintah dan penerima vaksin,” kata Hamid.
Koalisi sudah bekerja membantu pemerintah melakukan vaksinasi bagi masyarakat adat dan kelompok rentan di lebih dari 30 kabupaten/kota di sembilan provinsi. Dari pengalaman Koalisi, menggelar vaksinasi di luar Jawa bukan hal mudah. Faktor jarak, kondisi jalan, hingga sarana transportasi bisa menyurutkan minat warga.
Menurut Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) Rukka Sombolinggi, Vaksin Johnson & Johnson ini lebih cocok digunakan di daerah yang warganya tinggal jauh dari kota seperti masyarakat adat, di mana akses angkutan kendaraan minim.
“Misalnya di Meratus, Kalimantan Selatan, orang harus berjalan kaki dua hari demi menempuh jarak ke tempat vaksin. Jika mereka hanya perlu sekali vaksin, akan sangat membantu,” kata Rukka.
Begitu juga di Jambi. Warga di Desa Lubuk Mandarsah, Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo harus menempuh perjalanan empat jam hanya untuk ke pusat kota kecamatan. Belum lagi jika cuaca sedang turun hujan, maka jalanan berubah jadi lumpur yang susah dilewati. Di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, banyak warga yang sudah susah payah menuju lokasi vaksinasi, gagal divaksin karena mabuk akibat perjalanan jauh dengan mobil bak terbuka.
Demikian pula dengan vaksinasi di kalangan disabilitas. Berdasar pengalaman vaksinasi bagi kalangan disabilitas di Bantul, Yogyakarta, pada Agustus lalu, butuh persiapan ekstra panjang, tempat khusus, juru bahasa isyarat, dan tenaga pendamping tambahan.
“Butuh koordinasi banyak pihak untuk menggelar vaksinasi kalangan disabilitas,” kata Buyung Ridwan Tanjung, co-founder Organisasi Harapan Nusantara (OHANA).
Penyelenggara vaksinasi harus melakukan edukasi agar penyandang disabilitas mau divaksin. Lokasi vaksinasi juga tak bisa asal pilih, harus ramah bagi pengguna kursi roda, kruk, atau alat bantu lainnya. Belum lagi, tak semua penyandang disabilitas memiliki kendaraan yang bisa digunakan untuk menuju lokasi vaksinasi. Maka, penyelenggara harus menyediakan kendaraan khusus untuk antar jemput penerima vaksin.
Saat di lokasi vaksin, penyelenggara juga harus menyediakan tenaga penerjemah bahasa isyarat, agar penyandang disabilitas rungu bisa berkomunikasi dengan tenaga Kesehatan. Plus, ada tambahan pemeriksaan, karena banyak penyandang disabilitas yang kurang memahami kondisi badannya sendiri.
Jika vaksinasi digelar secara jemput bola ke rumah-rumah penerima vaksin, vaksinnya juga belum tentu bisa tahan lama. Pemerintah daerah juga kemungkinan sulit menggelar vaksinasi bagi kalangan disabilitas karena butuh bantuan dari banyak warga sipil.
Jika pemerintah mengalokasikan vaksin dari Johnson & Johnson ini untuk masyarakat adat di pedalaman, kalangan disabilitas atau kelompok rentan, maka beban kerja vaksinasi akan lebih ringan. Baik penyelenggara vaksinasi dan penerima vaksin akan menghemat waktu, tenaga, dan biaya separuhnya jika dibandingkan dengan vaksin lain.
“Maka, kalau vaksinasi bisa hanya sekali suntik saja, itu luar biasa,” kata Hamid.
Dengan penggunaan vaksin sekali suntik, maka penerima vaksin juga hanya sekali menanggung efek vaksin atau biasa disebut dengan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Menurut penelitian BPOM, vaksin dari Johnson & Johnson ini memiliki efek dalam skala ringan hingga sedang. Efek yang biasa terjadi antara lain nyeri, kemerahan, hingga pembengkakan. Sedangkan KIPI sistemik yang umum terjadi adalah sakit kepala, merasa lelah, demam, nyeri otot, mengantuk, mual, muntah, hingga diare. (afd/*)