JAKARTA, beritapalu | Sebanyak 36 petani kopi dari tujuh provinsi di Indonesia menanti penilaian akhir dari juri dalam kompetisi kopi specialty paling prestisius di dunia, Cup of Excellence (COE) Indonesia. Kompetisi yang dipersiapkan jauh-jauh hari sejak triwulan I 2021 itu kini memasuki penjurian akhir di tingkat internasional.
Para petani itu berasal dari Daerah Istimewa Aceh (9 petani), Jambi (2), Sumatera Selatan (1), Jawa Barat (12), Jawa Tengah (1), Jawa Timur (3), Sulawesi Selatan (1), dan Nusa Tenggara Timur (1). Kopi-kopi yang mereka produksi itu menggunakan empat proses, natural (18 sampel kopi), washed (12), honey (4), dan giling basah atau wet hulled (2).
“Proses giling basah ini sangat khas Indonesia. Karena dalam COE produsen kopi lain tidak dikenal proses itu,” kata Ketua Pelaksana COE Indonesia 2021, Andi Widjaja, belum lama ini.
COE Indonesia 2021 merupakan kompetisi paling bergengsi guna mencari kopi berkualitas dari sebuah negara penghasil kopi pada satu musim panen tertentu. Standar penilaian yang dimiliki COE adalah yang tertinggi dalam industri kopi specialty. Melalui sistem yang diawasi auditor profesional, setiap kopi yang terdaftar bakal dinilai dengan skor minimal 87 guna masuk ke tahap penjurian internasional.
Pemegang lisensi dan pengoperasian COE adalah Alliance for Coffee Excellence, Inc. (ACE), organisasi nirlaba, yang berbasis di Portland, OR, USA. Penyelenggaraan COE Indonesia pada 2021 merupakan yang pertama di Benua Asia, meski kompetisi ini sudah dimulai sejak 1999 lalu untuk kopi asal Brazil.
Dalam penyelenggaraan COE ini, panitia menerima setidaknya 158 sampel kopi, namun sebanyak 12 sampel tidak bisa melaju ke tahap Pra Seleksi. Dalam kompetisi ini, setiap peserta harus mengirimkan 2 kilogram sampel untuk tahap pra seleksi dan satu lot kopi bila lolos dari tahap pra seleksi. Setiap lot minimum 250 kilogram hingga maksimum 1.210 kilogram. Jika sampel kopinya lolos hingga ke tahap akhir, maka jumlah lot itu yang nantinya akan dilelang dan hasil lelang menjadi milik petani.
Dalam tahap penilaian pra seleksi ada 79 sampel kopi yang lolos dan berhak melaju ke tahap nasional. Dalam tahap ini, sampel kopi terbanyak berasal dari Provinsi Jawa Barat, diikuti Sulawesi Selatan (15), Aceh (12), dan provinsi lainnya antara 1-6 sampel. Tahap Nasional ini akan menyaring kopi peserta yang akan lolos ke tahap penjurian international.
Tahap terakhir dari kompetisi ini adalah lelang daring yang diikuti semua peserta lelang yang didominasi calon pembeli dari luar Indonesia. Sebelumnya, mereka harus mendaftarkan diri ke ACE, sehingga calon pembeli adalah calon yang sudah terseleksi.
Seluruh sampel kopi itu baru akan dibuka identitas petani dan kopinya setelah juri menyelesaikan penilaian pada tingkat internasional. Pemberian nilai itu hanya berlaku untuk lot kopi yang didaftarkan pada penyelenggaraan COE 2021.
ACE mengelola dua jenis lelang terkait kopi-kopi yang ikut serta dalam COE ini, masing-masing, National Winner Auction dan COE Auctions. Lelang nasional berlaku untuk kopi-kopi yang lolos ke babak internasional dan memperoleh poin 85,00-86,99. Pelaksanaannya pada 24 Januari-4 Februari 2022.
Sementara lelang COE untuk kopi-kopi yang lolos ke babak internasional dan memperoleh nilai minimal 87,00. Lelang COE bakal dilaksanakan pada 27 Januari 2022 mendatang.
Guna mengikuti lelang, calon pembeli harus mendaftar dulu agar mendapat akses guna melakukan penawaran. Lelang COE hanya dibuka 1 malam, atau tepatnya pukul 21:00 hingga selesai (apabila tidak ada penawaran baru untuk kopi manapun di lelang tsb hingga batas waktu 3 menit berlalu). Sementara untuk lelang National Winner, dibuka dalam waktu yang lebih panjang.
Harga dasar ditetapkan oleh pelaksana dan disepakati oleh ACE. Untuk lelang COE Indonesia, harga pembukaan untuk kopi dengan poin 87,00 – 87,99 adalah 5 US$ per pound, untuk kopi dengan poin 88,00 – 89,99 adalah 6 US$ per pound, dan untuk kopi dengan poin di atas 90, harga pembukaan adalah sebesar 6.5 US$ per pound. Setiap kenaikan penawaran adalah minimal 10 sen per pound.
Untuk lelang National winner, harga dasar ditetapkan sebesar 4 US$ per pound.
Sampai saat ini panitia sudah mendapatkan daftar calon pembeli yang sudah terkonfirmasi oleh ACE sebanyak 103 nama untuk lelang COE dan 81 nama untuk lelang National Winner.
Ketua Specialty Coffee Association of Indonesia (SCAI), Daryanto Witarsa melihat antusiasme tinggi dari petani terkait gelaran COE yang digelar saat kondisi pandemi. Dengan 158 pendaftar, Daryanto mengakui hal itu sudah cukup baik mengingat keterbatasan panitia dalam menggelar sosialisasi yang secara daring.
“Terbatas secara fisik di daerah tertentu,” ujar Daryanto sembari menambahkan jumlah peserta itu baru setara belasan persen saja dari kepesertaan COE Brazil yang sudah digelar selama 22 tahun berturut-turut.
Pada sisi lain, Wakil Ketua Umum SCAI, Michael Utama mengungkapkan, masih banyak petani yang belum memahami konsep COE. “Terkait dengan SOP yang ketat,” tutur Michael.
Menyoal kualitas kopi Indonesia berkaca dari proses penjurian nasional, Michael menilai masih banyak yang belum memenuhi standar. “Dari 163 perserta yang masuk ke tahap pre selection hanya 79 ke tahap national. Dan dari 79 hanya 67 yang berhasil mengirimkan lot ke Gudang penampungan di Skynine Sentul,” imbuhnya.
Negara-negara penyelenggara Cup of Excellence bisa melihat celah manfaat yang sangat besar bagi masa depan kopi mereka. Tak hanya bagi para petani, tapi juga bagi pemerintah, organisasi dan pebisnis kopi yang membantu terselenggaranya kompetisi kopi tertinggi di dunia saat ini.
Keuntungan COE bukan melulu soal finansial bagi petani atau seluruh pemangku kepentingan kopi di sebuah negara. Lebih daripada itu, Cup of Excellence menciptakan warisan abadi di setiap negara yang berpartisipasi.
Andi berharap, penyelenggaraan COE bisa menjamin keberlanjutan kopi Indonesia ke depannya sehingga menjadi lebih baik. Mulai dari sisi kepemilikan atau kemitraan atas lahan, pembibitan, perawatan, hingga pasca panen pada sisi hulu. Jika tata kelola dibenahi, Andi percaya dampak turunannya bisa ikut terdongrak seperti peningkatan kualitas dan kuantitas produksi.
“Misal awalnya satu hektare hanya produksi satu ton bisa naik jadi tiga ton. Dengan demikian maka harga kopinya bisa lebih murah untuk kemudian ke hilirnya. Jadi efek berantai hingga ke konsumen,” kata Andi.
Berdasar pengalaman penyelenggaraan COE yang pertama, Andi melihat ada masalah yang perlu dicari solusinya oleh seluruh pemegang kepentingan. Dia memberi contoh, kemampuan petani menahan sejumlah kopi untuk diikutsertakan dalam kompetisi. Setidaknya, mereka harus merelakan produksinya minimal 250 kilogram untuk tidak dijual karena menanti proses penjurian tuntas. Jika dikonversikan, produksi kopi itu setara dengan nominal Rp20 juta-Rp25 juta.
“Jumlah yang tentunya tidak kecil untuk mereka,” terang Andi.
Selain itu, kondisi geografis, sambung Andi, berdampak pada tingginya ongkos logistik yang mereka perlu keluarkan untuk mengirimkan lot ke gudang. Resiko yang harus ditanggung Ketika lot tidak lolos ke babak internasional juga cukup menjadi keluhan dari beberapa peserta, karena mereka diharuskan mengambil kembali lot mereka dari gudang. Yang artinya tambahan ongkos logistik.
Michael juga menyoroti masalah tersebut. Dia melihat dari fakta lolosnya 79 peserta namun hanya ada 63 peserta yang bisa mengirimkan kopinya ke gudang, sebagai persyaratan administrasi lanjutan. “Para petani membutuhkan dana hingga mereka menjual lot mereka sebelum pengumuman untuk tahap nasional,” kata Michael seraya menambahkan pemberian dana talangan untuk peserta bisa sangat membantu peserta COE ke depannya.
Hal lain yang jadi tantangan adalah legalitas penggunaan tanah untuk penanaman kopi yang diikutsertakan dalam COE. Sebagian besar petani kopi di Indonesia menggalang kerjasama dengan pihak lain untuk penggunaan lahannya. Sementara rekam jejak yang jelas terkait proses produksi kopi di bagian hulu jadi syarat yang perlu dipenuhi dalam COE.
Michael berharap pemerintah mendukung COE. Sejauh ini, dukungan memang sudah ada dari Bank Indonesia, badan usaha milik negara, hingga badan usaha milik daerah. “Tapi masih belum cukup
untuk menutupi semua biaya yang harus dikeluarkan dalam menjalankan program COE ini,” imbuh Michael.
Proses menggelar COE ini membutuhkan konsentrasi, waktu, serta sumber daya besar. “Program COE hampir memakan waktu sekitar delapan bulan. Karena itu, kami meminta dan menerima bantuan juga dari sektor swasta termasuk mengadakan crowd funding,” terang Michael. (afd/*)