SIGI, beritapalu | Serikat Petani Petasia Timur menolak proses verifikasi dan validasi oleh pemerintah terhadap lahan milik masyarakat yang diklaim oleh PT Agro Nusa Abadi di Kecamatan Petasia Timur, Kabupaten Morowali Utara.
Proses ini dianggap tidak partisipatif, karena tidak melibatkan secara langsung para petani pemilik lahan yang bersengketa.
Badan Pimpinan Serikat Petani Morowali Utara, Ambo Enre dihadapan sejumlah media dalam konferensi pers Kamis, (9/5/2024) di Sigi menyebut, proses yang berjalan selama ini sangat merugikan pihak petani karena tidak pernah dilibatkan secara langsung dalam pengambilan keputusan. Padahal dirinya masuk dalam tim penyelesaian konflik agraria itu sebagai salah satu penasehat yang mewakili unsur masyarakat.
“Proses yang dilakukan oleh pemerintah provinsi Sulawesi Tengah tidak melibatkan kami sebagai petani yang berkonflik disana. Harusnya upaya penyelesaian ini lebih partisipatif dan transparan dalam menyelesaikan problem agraria ini,” kata Ambo Enre yang didampingi oleh sejumlah anggota serikat tani lainnya.
Awal Mei lalu, Pemprov Sulteng berdasarkan surat Gubernur Sulteng Nomor: 500.801/235/Ro.Hukum melepaskan 282,74 hektare (Ha) lahan PT Agro Nusa Abadi (ANA) untuk dikembalikan kepada petani di Desa Bunta, Kecamatan Petasia Timur, Kabupaten Morowali Utara (Morut).
Merespon hal tersebut, Mohammad Arif, anggota Serikat Petani Morut meminta agar proses verifikasi dan validasi yang di lakukan di Desa Bungintimbe, Tompira dan Towara tidak sama dengan yang dilakukan di Desa Bunta. Karenanya ia menganggap tidak berkeadilan, karena ada beberapa masyarakat khususnya di Desa Towara tidak masuk dalam daftar yang diverifikasi.
Menurut Arif, sebaiknya aparat pemerintah desa yang ada di Kecamatan Petasia Timur yang berkonflik dengan perusahaan dilibatkan dalam proses verifikasi dan validasi itu. Hingga saat ini pemerintah desa Towara tidak pernah melakukan verifikasi dan validasi terhadap lahan masyarakat yang berkonflik. Jangan sampai proses penyelesaiaan konflik agraia ini hanya hanya dilakukan di desa Bunta saja.
Menyikapi proses ini , Koordinator Front Rakyat Anti Sawit (FRAS) Sulteng, Eva Bande menyayangkan tahapan penyelesaian konflik tersebut. Eva menuturkan , mestinya proses pemeriksaanya terang benderang, perusahaan tersebut tidak memiliki izin hak guna usaha.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi 138 PPU 2015 dan Undang-undang nomor 39 tentang perkebunan dan pasal 114. Peraih anugerah Yap tian Him ini, perusahaan yang belum memiliki HGU harus melakukan penyesuaian, jika selama dua tahun tidak melaksanakan penyesuaian maka aktifitasnya dinilai ilegal.
Demikian pula termaktub dalam Undang-undang Cipta kerja pasal 110 (A) juga memberikan penyesuaian selama tiga tahun. Seharusnya tidak ada alasan Pemprov melaksanakan proses mediasi,yang ada penegakkan hukum dan penertiban bisa dilakukan terhadap PT ANA.
Selanjutnya kata dia, harusnya lewat pemerintah daerah, perusahaan mengembalikan semua hak petani sesuai data pihaknya masukkan data subjek maupun objek sejak 11 September 2023. Luasan lahan 740 ha dengan jumlah 370 KK tersebar di empat desa, yakni Desa Tompira, Desa Bunta, Desa Bungintimbe dan Desa Towara.Semua diberikan haknya tanpa kompromi.(wan)