HILIR mudik kendaraan melintas di jalan poros Desa Tompira Kecamatan Pamona Timur, Morowali Utara. Ika Yuspariyanti masih sibuk melayani pembeli minuman segar yang dikemas dalam kemasan plastik. Aktifitas ini dijalani untuk mengisi waktu luang, sembari juga menjual kue dan penganan lainnya. Biasanya juga Ibu dua anak ini menjual dagangannya ke Pasar terdekat seminggu sekali, sembari menitipkan hasil olahan meti ke kios kios terdekat.
Sebagai ketua kelompok “Ma’rasa”, Ibu anak dua ini juga masih memproduksi meti (kerang sungai) bersama anggota kelompoknya. Meti yang berasal dari spesies Pilsbryoconcha exilis ini diolah menjadi bahan bahan dasar pembuatan cemilan dalam kemasan.
Meti adalah sebutan lokal untuk kerang sungai bagi masyarakat yang tingal di sepanjang sungai La’a di Kabupaten Morowali Utara. Tidak ada yang tahu asal muasal penyebutan meti atau kerang sungai ini di masyarakat. Kerang ini menjadi salah satu bahan makanan pokok yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat.
Mata pencarian Sebagian besar warganya juga adalah menjadi nelayan pencari meti di sungai. Mencari meti berlaku bagi semua orang disana baik perempuan atau laki laki disana. Namun sebagian besar perempuan disana dulunya hanya bekerja menjadi pengupas cangkang meti yang sudah dikumpulkan dari nelayan. Mereka diupah sebesar 2000 rupiah per liternya.
“ Biasanya dalam sehari, rata rata saya dapat menghasilkan lima puluh ribu rupiah. Tergantung dari banyaknya meti yang dikupas. Kadang kadang 20 sampai 30 liter per orang. “ ujar Ika.
Peluang itu akhirnya terbuka lebar
Dulunya sebagian besar perempuan desa Tompira hanyalah sebagi pengupas meti saja. Mereka mendapatkan upah dari kerja sambilan dirumahnya. Sembari mengisi waktu senggang. Sebenarnya harga kerang yang hidup di dasar sungai ini cukup baik. Bisa mencapai 20 ribu rupiah perliternya, jika dibeli eceran oleh warga di pasar. Akan tetapi jika dibeli oleh pedagang pengumpul harganya hanya 12 ribu rupiah per liternya. Karena akan dijual kembali keluar daerah.
Pada tahun 2021 lalu, Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil Mikro (ASPPUK), bersama lembaga anggotanya Komunitas Peduli Perempuan dan Anak (KPPA Sulteng) datang berkunjung ke desa, mereka melihat aktifitas perempuan dan anak disana. Mulanya hanya berdialog biasa, namun akhirnya melihat respon warga yang antusias, organisasi masyarakat sipil yang berdomisili di Palu ini memulai diskusi dengan para perempuan itu. Temanya sederhana , bagaimana jika meti ini diolah menjadi bahan makanan atau cemilan. Tidak hanya di jual mentah saja.
“ setelah beberapa kali diskusi , akhirnya warga menyepakati untuk sama sama belajar mengolah meti menjadi bahan makanan dalam kemasan. “ kata Anti salah satu pendamping program dari KPPA.
Pelatihan pengolahan kerang meti juga dilakukan, sebagai awal untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dampingan. Bagaimana sebaiknya melakukan pengolahan makanan berbahan dasar kerang. Dari situlah akhirnya beberapa jenis produk olahan itu dibuat. Instrukturnya datang dari dinas perikanan kelautan kabupaten morowali utara. Perempuan ini berasal dari Desa Tinompo Kecamatan Lembo Morowali Utara. Dia memang memiliki keahlian untuk membuat cemilan berbahan dasar meti. Dari situ transfer pengetahuan diantara masyarakat terjadi.
Di Desa Tompira sendiri ada 2 kelompok usaha dampingan dari KPPA , keduanya mengolah meti menjadi cemilan. Masing masing beranggotakan 10 orang. Meti diolah menjadi Abon, sambal goreng, stik, nugget, bakso hingga pangsit.
Sebelum ada perusahaan sawit dan juga tambang, kualitas meti lebih baik dari sekarang. Menurut Yuniar ketua kelompok Mekar Bersatu, meti hanya diolah sebagai bahan makanan biasa di dapur dapur keluarga untuk di konsumsi. Tidak sampai diolah dan dijual dalam kemasan.
“ Setelah datangnya teman teman ASPPUK dan KPPA, kita akhirnya bisa mengolah meti menjadi bahan makanan lain.” Kata Yuniar.
Penghasilannya pun menjadi bertambah. Karena saat ini tidak lagi sebagai pengupas meti yang mendapatkan upah , akan tetapi dapat memproduksi meti menjadi sumber penghasilan tambahan bagi keluarga.
Produksi perdana perempuan tompira ini adalah stik , nuggets dan krispy. Semua berbahan dasar meti atau kerang sungai. Metinyapun berasal dari tangkapan para nelayan setempat disekitar pemukiman mereka. Karena desa tompira ini berada dipinggiran sungai La’a yang membelah dua wilayah desa ini.
Modal awal dari kelompok dikumpulkan dari masing masing anggota sejumlah 10 ribu rupiah. Tujuannnya untuk menjadi modal membeli bahan. Selanjutnya bahan dasar meti itulah yang diolah menjadi stik, nuggets dan krispy. Hasil prosuksi itulah yang dipasarkan disekitar kampungnya.
Sekarang ini hasil dari produksi kelompok usaha bersama ini sudah dipasarkan keluar Morowali Utara, hanya saja belum maksimal. Biasanya pemerintah daerah ketika akan mengikuti pameran diluar daerah, sudah memesan lebih awal. Hasil produksi kelompok meti ini sudah dibawa dan dijadikan oleh oleh oleh pejabat maupun masyarakat lainnya.
Ada pula yang di jual langsung ke pasar atau kios kios di sekitar desanya. Misalnya menitipkan ke warung warung untuk dijual. Harganya bervariasi sesuai jenisnya. Misalnaya stik meti dibanderol dengan harga 15 ribu , sama dengan stik meti batagor 15 ribu, sedangkan sambal meti dihargai 100 ribu per toples kecil.
Datangnya dukungan dari para pihak
Dukungan pada kelompok usaha bersama kerang meti ini bagi anggota kelompok mulai terlihat. Pemerintah daerah melalui Dinas Koperasi, UMKM, Perindustrian dan Perdagangan (Diskumperindag) Kabupaten Morowali Utara. Kelompok ini mendapatkan bantuan yang disalurkan oleh pemda kepada usaha kecil masyarakat Tompira. Setiap kelompok dibantu dengan peralatan pendukung. Meskipun belum semua kebutuhan kelompok dapat dipenuhi.
Menurut Yuniar, kelompok yang dipimpinnya pada tahun ini mendapatkan bantuan peralatan. Mereka mendapatkan blender, kompor gas, panci, belanga goreng, etalase maupun kemasan untuk digunakan membungkus produk olahannya.
Demikian halnya dengan Kelompok usaha bersama “ Ma’rasa”, mereka juga menerima bantuan dari pemerintah daerah. Dengan jenis peralatan yang sama untuk mendukung keberlangsungan usaha mereka.
Ika sebagai ketua kelompok sempat mempertanyakan ke pemerintah desa setempat. Karena menganggap kualitas peralatan dan bahan yang disalurkan tidak sesuai dengan usulan yang mereka masukkan. Kualitasnya dibawah standar.
“Masalah ini saya juga tanyakan kepada pihak dinas , waktu mereka datang untuk mengecek programnya.” kesal Ika.
Dari beberapa produk meti, ada dua jenis produk seperti Stik meti dan sambal meti yang telah memiliki PIRT (Pangan Industri Rumah Tangga). Dalam memasarkan produk industri rumah tangga, para pemilik usaha disarankan untuk mengurus sertifikasi produksi yang disebut juga dengan Sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT).
SPP-IRT ini diperoleh dari Bupati melalui Dinas Kesehatan untuk industri rumahan produk makanan dan minuman. Sertifikasi ini merupakan penilaian standarisasi kemanan, mutu, dan gizi pangan bagi pelaku UMKM yang bergerak di bidang makanan dan minuman.
Bukan hanya PIRT, kelompok dampingan Asppuk dan KPPA ini juga telah memiliki Nomor induk berusaha (NIB). Selain berfungsi sebagai identitas usaha, NIB juga sekaligus berlaku sebagai Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Angka Pengenal Impor (API), Akses Kepabeanan, terutama jika pemilik usaha melakukan kegiatan ekspor maupun impor. Artinya, dengan NIB, pemilik usaha tidak lagi perlu mengurus tiga persyaratan izin usaha tersebut.
Kerja sama antara para pihak sangat menunjang proses berjalannya usaha ini di masyarakat. Ketika semua upaya berlangsung dengan baik. Desa Tompira ini berada disekitar konsesi perusahaan sawit milik PT. Agro Nusa Abadi dari Grup Astra. Dukungan dari perusahaan juga mulai dibangun dengan melakukan dialog dengan mereka. Misalnya mencari dukungan dari dana CSR (corporate Sosial resposnsibility).
Tanggung jawab social dari korporasi ini sudah mendapat jawaban dari pihak perusahaan sawit itu. Menurut pengakuan Maspa pendamping kelompok dari KPPA Sulteng, kelompok diminta membuat proposal terkait dengan kebutuhan kelompok usaha yg belum di akomodir dari bantuan Bantuan Keuangan Khusus Pemerintah Daerah Morowali Utara.
“ PT ANA juga sudah beberapa kali menerima kami untuk berdiskusi untuk membangun kerjasama dalam mengembangkan usaha yang sudah dibentuk ASPPUK di 3 Desa dampingan”. kata Maspa.
Meskipun belum terealisasi, tetapi kelompok ini masih menunggu janji dari pihak perusahaan . Karena memang baru satu kelompok dampingan yang mengajukan proposal ke perusahaan. Kelompok itu adalah klompok usaha bersama “ Ma’rasa” yang diketuai Ika Yuspariyanti.
Desa Tompira tentu bisa memanfaatkan dana CSR atau inisiatif dari perusahaan untuk pengembangan Side income Generating Activities lainnya selain untuk pembangunan infrastruktur. Disamping itu ada juga beberapa kegiatan langsung dari dua usaha besar itu seperti pemberian Bea Siswa dan melakukan penjaringan tenaga kerja lokal dalam kegiatan Industri pertambangan. Kegiatan “Job Fair” sering dilakukan walau tentunya harus kompetitif dengan tenaga kerja yang didatangkan langsung dari Cina.
Perkembangan dan keterlibatan dari perusahaan pada masyarakat tidak lepas dari kemampuan dari para kepala desa untuk membuka ruang dialog dengan pihak pihak swasta. Peran para pendamping ASPPUK juga dibutuhkan untuk menjembatani antara kelompok PUK dengan pihak Desa ataupun dengan perusahan-perusahaan yang ada di dalam lingkungan desa yang didampingi.
Salah satu yang menonjol dari Desa Tompira adalah peran Kepala Desa yang menerapkan Good governance dalam tata kelola pemerintahan. Transparansi dan akuntabilitas Anggaran Desa telah dilakukan sesuai amanat dari peraturan perundangan.
Kepatuhan untuk memasukan anggaran pendapatan dari CSR perusahaan merupakan salah satu jelas membantu pengembangan dan pembangunan aktivitas di desa Tompira.
Upaya pemasaran lainnya juga dilakukan oleh kelompok dan pemerintah daerah. Misalnya cara pemasaran produk bukan hanya dilakukan secara tradisional. Akan tetapi juga dengan cara menjual secara online. Bagaimana kelompok itu diajarkan cara menggunakan media sosial Facebook dan Whatsapp.
Maspa Field officer KPPA Sulteng menyatakan kalau kelompok dampingannya di Petasia Timur ini dibekali dengan pelatihan cara memasarkan produk dengan cara online. Mereka mendatangkan pelatih dari luar kota untuk mengajarkan anggota kelompok dampingan.
“ Kami belajar bersama , bagaimana mengguna WA dan FB untuk memasarkan produk kelompok. Termasuk diajarkan bagaimana mendokumentasikan dalam bentuk foto produk yang akan dijual.” Kata Maspa.
Selain itu pula peserta dilatih untuk membuat narasi foto produk yang menarik perhatian pembeli. Upaya ini juga sangat membantu kelompok. Cara lain dalam memasarkan produk ini, dengan mengisi gerai produk pemerintah daerah milik dinas UMKM. Dinas juga memfasilitasi kelompok untuk mengurusnya. Gerai khusus produk lokal milik pemda ini juga diberikan ruang bagi kelompok ini untuk menjual produknya.
Tantangan yang dihadapi
Tidak ada usaha yang tidak memiliki hambatan atau tantangan. Meskipun kecil tapi masih dapat dilalui. Selain modal usaha yang masih di Kelola dengan manajemen yang baik pula. Salah satu yang masih ditunggu oleh kelompok ini adalah sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Morowali Utara. Untuk mendapatkan sertifikat itu setiap produk harus membayar sekitar 2 juta rupiah. Kalau untuk mendapatkan sertifikat gratis , masih harus menunggu bantuan pemerintah. Dan itu jika saja dianggarkan oleh APBD dalam program khusus.
Sejak terbentuk tahun 2022 hingga saat ini menurut kelompok ini hambatan yang ditemukan antara lain masih minimnya alat produksi yang dimiliki sehingga produk yang dihasilkan masih terbatas dan belum meluasnya jaringan pemasaran. Sejauh ini kelompok ini mendapatkan dukungan pendampingan dan pelatihan produksi dan pelatihan manajemen usaha dari NGO seperti KPPA & ASPPUK. Kelompok ini berharap pemerintah desa setempat dapat membantu mempromosikan produknya sehingga mendapatkan dukungan dan bantuan dari pemerintah kabupaten hingga provinsi bahkan pusat serta pihak swasta agar meningkatkan produksinya.
Hal yang perlu didorong ke depannya adalah memanfaatkan dana CSR untuk kegiatan yang berperspektif gender. Anggaran perspektif gender tentu diperlukan agar ada keberpihakan pada kegiatan kaum perempuan dan keikutsertaan dalam pembangunan di desa. Untuk itu agar suara dan kepentingan kaum perempuan didengar oleh pembuat kebijakan di desa adalah keaktifan kaum perempuan khususnya anggota kelompok PUK dalam setiap rembug desa atau Musrenbang desa.
Tanpa keterlibatan ini tentu banyak alokasi dana yang bisa dimanfaatkan untuk memajukan kegiatan kaum perempuan tidak dapat terserap dengan baik.
(***)
Liputan ini merupakan fellowship Perempuan, Bisnis berkelanjutan dan Perubahan Iklim yang di yang diselenggarakan ASPPUK, AJI Indonesia dan Konde.co