SIGI, beritapalu | Event seni dan budaya bertajuk Ramporame Festival dimulakan di tengah areal persawahan di Desa Porame, Kinovaro, Sigi, Sulawesi Tengah, Jumat (21/7/2023) tepat ketika sinar senja mengangkasa di balik pegunungan Gawalise.
Tidak seperti lazimnya, pembukaan festival berbasis komunitas itu tidak diawali dengan acara seremonial. Satu-satunya penanda adalah spontanitas. Begitu penampil sudah siap, maka saat itulah festival tersebut dimulakan.
Tampil perdana di panggung adalah komunitas yang menamakan diri Repuitis. Komunitas ini memukau pengunjung yang terus berdatangan sejak menjelang sore. Gemuruh aplaus panjang menyertai usai tampil.
Di sisi lain panggung, Porame yang berarti berkumpul beramai-ramai terlihat di tenda-tenda UKM yang mengelilingi panggung itu. Tenda-tenda itu diisi oleh warga setempat yang mengambil bagian sebagai bentuk dukungan pada festival berbasis warga itu. Di dalamnya aneka kuliner tersedia, mulai dari yang ringan-ringan hingga yang berat-berat semacam uvempoi.
Sementara itu di belakang panggung, sejumlah bangku-bangku terbuat dari kayu berjejer di tengah hamparan sawah yang baru dipanen. Sebagian pengunjung memilih duduk di tempat itu. Sederhana alasannya, dari situ mereka memandangi dua barisan gunung di belakangnya yang menjulang diterpa sinar senja.
Sebagian pengujung lagi sibuk dengan kamera handphone. Hampir setiap sudut direkamnya, katanya, ini momentum yang tak boleh dilewatkan.
“Viewnya sangat cantik,” aku seorang pengunjung.
Aroma kopi tercium kemana-mana. Rupanya, dari salah satu sudut tenda di kawasan itu sekelompok anak muda sedang meramaikan obrolannya dengan kopi. Sesekali mereka terbahak, tapi sesekali pula serius dengan topiknya.
“Ini adalah pertemuan budaya, ini adalah pertemuan tentang kebiasaan-kebiasaan yang mungkin sudah banyak dilupakan. Ini mengajak kita kembali kepada tradisi kita, tentang adab, sopan santun, dan banyak lagi kebiasaan lainnya,” ujar Rahman, warga Kalukubula yang mengaku secara khusus datang untuk melibatkan diri dalam festival tersebut.
Repuitis bukanlah satu-satunya penampil pada hari pertama festival yang mengusung semangat gotong royong itu. Usai jeda, sejumlah komunitas juga unjuk diri seperti dari Kopi & Teh, Kompos Sigi, To Banawa, Sanggar Seni Madani, Rano Lindu dan juga anak-anak Sikola Pomore.
“Memang tidak ada seremonial karena ini adalah festival berbasis warga,” begitu Wiston Dachu, Direktur Ramporame Festival menjelaskannya. Meski tidak ada seremonial, namun bukan berarti tidak mendapat dukungan. Sebaliknya kata Wiston, festival itu bisa terlaksana karena dukungan banyak pihak mulai dari pemerintah termasuk pemdes, komunitas dan tentu saja warga setempat.
Wiston mengatakan, Ramporame Festival yang berlangsung hingga 23 Juli mendatang itu adalah sebuah perayaan atas semangat gotong royong, kebersamaan dan kemandirian. Ia berharap kreativitas akan tumbuh subur di tengah hamparan sawah dan membawa manfaat bagi semuanya.
Malam harinya, suasana berubah oleh hujan yang mengguyur. Panggung utama terpaksa ditutup sementara untuk menghindari kerusakan alat elektronik dengan kabel-kabel yang mengular di atas tanah.
Sebagian pengunjung berlindung di tenda-tenda yang mengelilingi lokasi itu, sebagian lagi bertahan dengan terpal yang terbentang tepat di depan panggung. Meski begitu, hujan tidak mengurangi khidmatnya perayaan kemandirian itu.
Soraya, salah seorang pengunjung menyebut, hujan telah memberi wawasan baru tentang festival di tengah sawah itu. “Hujan membuat kita masuk ke tenda, tapi di tenda justeri kita mendapatkan banyak cerita tentang Porame,” aku Soraya.
Direktur program Ramporame Festival, Kukuh Ramadhan mengatakan, “sejak awal Ramporame Festival tidak pernah direncanakan untuk menjadi sesuatu yang lebih penting dari apapun, dari panas dan juga hujan, sebab itulah yang merawat kami selama ini dan itulah jalan yang menghantar kami ke dalam Porame.” (afd)