JAKARTA, beritapalu | Dampak El Nino mulai terlihat. Berbagai wilayah di dunia mengalami kenaikan suhu, kebakaran hutan dan lahan, cuaca ekstrem, hingga banjir bandang yang merenggut nyawa. Di saat bersamaan, dunia tengah memasuki krisis iklim yang belum pernah terjadi sebelumnya, diperburuk oleh fenomena alam ini.
Tahun 2023 akan menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat secara global. Pada awal Juli, dunia mencatat suhu terpanas pada 17.2०C. Saat ini pun Eropa, Amerika Serikat, hingga Asia, sedang mengalami gelombang panas yang mengancam dan kekeringan.
China, misalnya, mencatat rekor suhu 52,2०C pada Minggu, 16 Juli 2023. Surat kabar lokal melaporkan panas ekstrem ini terjadi di kota terpencil Sanbao, di barat laut Kota Turpan, Xinjiang. Sebelumnya suhu tertinggi di negara tersebut terjadi pada 2015, di Ayding, Turpan.
Di sisi lain, wilayah selatan China mengalami banjir bandang.
Sementara itu mayoritas wilayah Eropa sedang terpanggang. Tahun lalu, gelombang panas mengakibatkan lebih dari 61.600 kematian terkait panas di 35 negara Eropa dan memicu kebakaran hutan yang katastrofik. Tahun ini, suhu diprediksi melampaui rekor di Eropa sebesar 48,8०C, tercatat di Sisilia pada Agustus 2021.
Sepanjang Juli tahun ini, pemerintah di berbagai negara telah mengeluarkan peringatan panas. Di antaranya, Kroasia, Prancis, Yunani, Italia, Portugal, Spanyol, Swiss, dan Turki.
Kebakaran hutan juga tengah berlangsung di sebelah barat ibu kota Yunani, Athena. Api telah memasuki hari keempat pada pekan ketiga Juli. Gelombang panas diprediksi terus berlangsung, dengan perkiraan suhu 44०C. Upaya pemboman air dan pemadaman api terus beroperasi. Sementara itu kebakaran hutan di resor tepi laut Loutraki, 1.200 anak telah dievakuasi pada Senin dari kamp liburan.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi puncak El Nino terjadi di bulan Agustus-September. Menurut Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, pemerintah dan berbagai instansi mempersiapkan langkah antisipasi dampak dari fenomena alam tersebut.
Menurut Dwikorita, pemerintah dan instansi terkait telah mengadakan pertemuan untuk membahas kesiapan menghadapi ancaman dari El Nino. Pasalnya fenomena alam ini akan berdampak pada berbagai ancaman kekeringan, seperti kebakaran hutan dan lahan, kekeringan.
“Diprediksi intensitasnya lambat hingga moderat, sehingga dikhawatirkan akan berdampak pada ketersediaan air atau kekeringan serta produktivitas pangan atau berdampak pada ketahanan pangan,” kata Dwikorita di Jakarta, Senin (18/7/2023).
Menurut Dwikorita, antisipasi cuaca El Nino telah dimulai sejak Februari-April. Namun upaya tersebut akan terus diperkuat. Pihaknya juga menghimbau agar masyarakat bersiap menghadapi cuaca ke depan.
El Nino merupakan fenomena alam, berbeda dengan La Nina.
Selama tiga tahun terakhir suhu dunia ‘meredam’ karena La Nina. El Nino terbesar adalah pada 2016, yang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.
Meskipun demikian, masyarakat dan pemerintah harus terus bersiaga. Dwikorita mengatakan, Indonesia yang berbentuk kepulauan dipengaruhi dua samudra dan memiliki topografi bergunung-gunung.
“Sehingga masih ada kemungkinan ketika satu wilayah kekeringan, daerah lainnya mengalami banjir atau bencana hidrometeorologi basah. Artinya, tidak semua wilayah serempak mengalami kekeringan,” jelas Dwikorita.
“Karena itu kami menghimbau untuk terus menjaga lingkungan, mengatur tata kelola air, dan beradaptasi pada pola tanam,” kata Dwikorita. (afd/*)