ENTAH yang ke berapa kalinya saya melewati jalan ini dan setiap kalinya dengan perubahannya sendiri, dari tanah berbatu menjadi aspal sebagian, dari kubangan menjadi lubang-lubang kecil sebagian, tapi sebagiannya lagi sudah diperlebar. Namun di antara perubahan yang terjadi itu, menurut saya yang menohok adalah vegetasi tanaman di kiri kanan jalan.
Memasuki Kecamatan Lore Tengah, Poso, Sulawesi Tengah, sisi jalan yang dulunya rimbun dengan tanaman kakao, kini sebagiannya berganti dgn kopi. Hamparan tanaman kopi itu menghijau di lereng-lereng perbukitan, apik dalam jejeran yang berpola. Ini pasti sengaja ditanam, bukan tumbuh liar begitu saja lalu diklaim “itu milikku”, pikirku.
Tanaman kopi itu membuat pikiran saya di sisa tempuh menuju Desa Bariri, tempat di gelarnya Festival Tampo Lore jadi penuh harap. Pasti ada kopi setempat yang bisa dinikmati dalam gelayut dingin di hamparan savana yang jauh dari polusi.
Rupanya Tuhan tahu harapan itu dan tepat setelah tenda saya dirikan di kawasan camping ground yang disediakan panitia, sebuah notifikasi dari facebook sy buka.
“Kalau lagi diskusi, baku sogol, ba susupositif dengan kawan-kawan, yah selalu lupa waktu, sambil menikmati secangkir kopi Ngamba Kampai Behoa yang diproduski anak muda Desa Hanggira”, begitu pesan tersebut lengkap dengan foto produk kopi yang sudah dikemas berlatar persawahan dari @Chymenk.
Chimenk adalah aktivis perempuan, pemerhati budaya dan juga penggerak anak muda di desa itu. Saya mengenalnya ketika ia bersama anak muda di desa itu menggelar Kemah Budaya dua tahun lalu, tempatnya di sekitar arca patung Tadulako.
Tidak sampai kalap, tapi saya berjingkrak usai membaca pesan itu dan seketika itu juga saya membalasnya dengan menyertakan detail posisi dan warna tenda saya yang berada di antara sekitar 30-an tenda sejenis.
Meski terbilang berada di pelosok, namun sarana komunikasi kali ini lebih baik dibanding dua tahun lalu. Sehingganya warga setempat pun bisa menikmati asyiknya bermedsos dan mencicipi teknologi artificial intelligence walau untuk mengaksesnya harus berada di zona tertentu.
“Jaringan ini baru sekitar dua bulan lalu,” sebut Chimenk ketika bertandang ke tenda saya sembari membawa sebungkus kopi bermerek “Kopi Ngamba” berslogan “Kampai Behoa”.
@Angky Torae, anak muda Desa Hanggira yang memproduksi kopi itu ternyata juga terlibat dalam kepanitiaan festival itu. Saya tidak harus kemana-mana untuk mencarinya karena secara real time selalu ada di tempat itu.
Angky bercerita tentang inisiatif memproduksi Kopi Ngamba itu. “Saya ingin mengembalikan kejayaan kopi dari Lembah Lore ini,” kata Angky memulai ceritanya. Ia mengaku lahir, tumbuh, dan besar serta dapat mengenyam pendidikan dari kopi yang dihasilkan dari kebun kopi orangtuanya dulu.
“Dulunya, orang-orang disini adalah petani kopi, termasuk bapak saya. Setelah kakao masuk, hampir semua tanaman kopi ditebang dan diganti dengan kakao. Nah sekarang kakao kurang menjanjikan lagi sehingga orang-orang kembali menanam kopi yang sesungguhnya adalah pekerjaannya memang begitu dulu,” terang Angky.
Dulu, lanjut pemuda 28 tahun ini, kopi dari Lembah Lore cukup dikenal. Ia khas dengan cita rasanya dan tidak saja dikonsumsi oleh warga setempat tapi juga dikirim ke luar melalui perdagangan. Kopi tidak saja menjadi ritual khas setiap ada hajatan, tapi juga menjadi jamuan wajib bagi setiap pertemuan, terlebih bagi tamu-tamu yang berkunjung ke desa.
Dinas Perdagangan dan Perindustrian Sulawesi Tengah menyebutkan, luas dan produksi tanaman kopi di Kabupaten Poso saat ini mencapai 1.266 hektare dengan jumlah produksi 737 ton per tahun. Khusus jenis kopi Arabica luas arealnya baru sekitar 257 hektare dengan produksi 147 ton per tahun.
“Kenapa harus mengonsumsi kopi dari luar kalau kita punya kopi sendiri yang di masa lalu sangat dihargai dan bahkan menjadi budaya kita,” tandas Angky.
Dari situlah Angky memulainya. Kebun pemberian orang tuanya yang sebelumnya ditanami jagung dan rupa-rupa tanaman palawija disulap menjadi areal kebun kopi. Kebun kopi itu dalam ukurannya tidaklah luas, namun cukuplah katanya untuk memulai pengembalian kejayaan kopi Lembah Lore itu.
Membuka-buka sejarah, berguru pada pada ahlinya, menjalin relasi dan kemitraan, menggaet anak muda setempat, merancang produk dan kemasannya, mengumpul modal kecil-kecil, jadilah Kopi Ngamba itu. “Ini baru beberapa sebulan lalu, dan jumlahnya masih belum banyak,” bebernya.
Terminologi “Kopi Ngamba” dipilih sebagai brand. Ngamba adalah salah satu dari dua distrik di lembah Behoa. Ngamba menjadi merek karena secara geografis diproduski di distrik itu. Sedangkan slogan “Kampai Behoa” yang berarti “Behoa yang selalu dijaga”. Filosofinya, mengonsumsi Kopi Ngamba akan selalu menyiratkan pada tanah leluhur Behoa yang harus selalu dijaga. Kampai Behoa juga menjadi nama lembaga yang didirikan anak-anak muda di wilayah itu dan berkegiatan positif untuk membangun citra dan menjaga budaya, seni, tradisi, dan lingkungan di Behoa.
Umumnya kopi yang ditanam warga setempat adalah jenis Robusta. “Tapi jenis Arabica juga dapat tumbuh dengan baik di lembah ini,” kata Kang Ade, pegiat kopi yang banyak mendampingi petani kopi di berbagai wilayah di Kabupaten Poso dan Sigi dan secara kebetulan juga hadir di momentum itu.
“Anak-anak muda di sini punya latar belakang perkopian dari orang-orang tuanya dulu, sehingga hanya dengan sedikit sentuhan saja, seperti teknologi, processing, pascapanen, mereka akan dapat menjadi petani kopi dan mungkin juga pebisnis kopi yang handal,” kesan Kang Ade.
Angky bersyukur dan bahkan mau terlibat dalam kepanitiaan festival Tampo Lore itu, karena baginya ini adalah kesempatan untuk menyuarakan budaya Tampo Lore yang di dalamnya implisit tentang kopi dan kekhasan lainnya. (bmz)