View this post on Instagram
SEBELUM berdiri di simpang empat Jalan Jalan H. Hayun-Ki Maja dan Wahidin-Suharso, Masjid yang dulunya bernama Al-Hidayah itu berada di pinggir sungai, tak jauh dari Jembatan III. Banjir yang kerap melanda mengharuskannya dipindah ke tempat sekarang.
Waktu mengubahnya, sebelum bencana memporak-porandakan seisi kota 2018 lalu, masjid yang dibangun sekitar 1930 itu sudah terlalu tua untuk bertahan dengan struktur bangunannya. Ia bahkan terancam rubuh dan hanya menyisakan kubah nan lapuk.
Lebih dari lima tahun menjadi tontonan miris bagi para pelintas, Dewan Masjid Indonesia (DMI) Sulawesi Tengah tergerak untuk merehabilitasi masjid yang nilai sejarahnya cukup panjang untuk diceritakan itu.
Tak sekadar merevitalisasi, DMI Sulteng bahkan bertekad untuk memfungsikan kembali masjid berukuran 6 x 6 meter itu sebagai sarana ibadah, tak hanya bagi warga muslim sekitarnya, tetapi juga para pelintas.
“Masjid ini bukan tempat yang baru bagi saya, dahulu sejak saya masih mahasiswa saya sering berkumpul dengan kawan-kawan di masjid ini,” kata Ketua DMI Sulteng, Ahmad M. Ali pada kesempatan dimulainya rehabiltiasi masjid itu, Kamis (28/4/2022) lalu.
Kini, masjid yang sebelumnya “reot” itu telah direhabilitasi dan berdiri menawan mata di sudut kota. Arsitektur minimalis di antara dua bangunan yang memojokkannya mengundang hasrat menyinggahinya.
Setidaknya, rehabilitasi dan reaktivasi masjid yang kini bernama Mushallah Pandapa Al-Hidaya Besusu ini menjadi salah satu upaya melestarikan nilai-nilai sejarah peradaban Islam di Kota Palu.
- Artikel ini sudah ditayangkan di pojokPALU.com dengan judul Memfungsikan kembali Mushallah Pandapa Al-Hidayah Besusu