JAKARTA, beritapalu | Save the Children dala laporannya yang dirilis September 2021 menyebutkan, krisis iklim di Indonesia membawa dampak nyata dan dirasakan oleh anak–anak saat ini.
Anak–Anak yang lahir selama setahun terakhir telah dan akan merasakan suhu 7,7 kali lebih panas dibanding yang dialami oleh kakek-nenek mereka. Tak hanya itu, anak–anak juga akan menghadapi 3,3 kali lebih banyak ancaman banjir dari luapan sungai serta 1,9 kali lebih banyak mengalami kekeringan.
“Dampak krisis iklim ini juga dirasakan lebih buruk pada anak–anak yang hidup dalam lingkaran kemiskinan. Ini disebabkan karena mereka sudah lebih dulu terpapar risiko yang jauh lebih besar tentang keterbatasan air, kelaparan, dan bahkan terancam menghadapi kematian karena kekurangan gizi,” sebut Selina Patta Sumbung, CEO Save the Children Indonesia dalam rilisnya, Sabtu (30/10/2021).
Selain itu, dampak dari krisis iklim ini membuat jutaan anak dan keluarga masuk dalam kemiskinan jangka panjang – di Indonesia anak–anak akan merasakan 3,2 kali lebih banyak gagal panen dan juga masih lemahnya akses terhadap skema perlindungan sosial.
Dalam laporan Save the Children yang terbaru secara global “Born Into the climate Crisis” atau Lahir di Masa Krisis iklim, menyerukan agar perlunya tindakan dan aksi yang harus dilakukan segera untuk melindungi hak–hak anak.
Secara Global, anak-anak yang lahir pada tahun 2020 akan menghadapi 7 persen lebih banyak kebakaran hutan, 26 persen lebih banyak gagal panen, 31 persen lebih banyak kekeringan, 30 persen lebih banyak banjir sungai, dan 65 persen lebih banyak gelombang panas jika pemanasan global dihentikan pada 1,5°C.
Meski demikian, Save the Children menyebut masih ada waktu untuk mengubah masa depan yang suram ini. Jika kenaikan dijaga hingga maksimum 1,5 derajat, beban antargenerasi pada bayi yang baru lahir berkurang 45 persen untuk gelombang panas; sebesar 39 persen untuk kekeringan; sebesar 38 persen untuk banjir sungai; sebesar 28 persen untuk gagal panen, dan sebesar 10 persen untuk kebakaran hutan.
“Anak–anak di Indonesia akan menjadi salah satu yang terkena dampak terburuk dari krisis iklim ini. Tanpa tindakan yang segera, kita akan menyerahkan masa depan yang suram dan mematikan pada anak–anak kita,” kata Selina.
Selina mengatakan, krisis iklim pada intinya juga adalah krisis pada hak anak. Perlu dilakukan hal sederhana dimulai dari diri sendiri dan keluarga, misalnya dengan menghapus ketergantungan pada bahan bakar fosil, memulai gaya hidup ramah lingkungan dan berpartisipasi aktif dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Pemerintah menurutnya juga harus mengembangkan tata kelola mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang inklusif dengan memperhatikan kebutuhan kelompok rentan seperti anak–anak melalui kebijakan, program, dan penganggaran yang berpihak kepada anak. (afd/*)