POSO, beritapalu | Tradisi Mosango atau menangkap ikan bersama di Danau Poso saat air sedang surut dan sudah turun temurun dilaksanakan oleh warga adat suku Pamona masih dipertahankan hingga sekarang.
Kearifan lokal itu bukan sekadar menjadi rutinitas periodik bagi warga adat setempat, tetapi menjadi perekat kerukunan antarwarga. Bagaimana tidak, jalinan kekerabatan, kekeluargaan, dan kebersamaan sangat kental dalam implementasi falsafahnya.
Di sela-sela tradisi Mosango yang digelar Jumat (21/10/2022) di pinggiran Danau Poso, tepatnya di Kelurahan Sawidago, Pamona Posulemba dalam rangkaian kegiatan Festival Danau Poso (FDP) 2022, Ketua Adat Suku Pamona Hajai Ancura menjelaskan banyak hal tentang tradisi Mosango itu.
Menurutnya, Mosango menjadi unsur perekat antarwarga karena di dalamnya mengandung kebersamaan dan rasa tenggangrasa yang tinggi antarsesama warga adat.
“Kalau turun melakukan Masango ini semua harus bisa menerima, ada yang dapat banyak ikan, ada yang sedikit, tapi ada juga yang sama sekali tidak dapat. Nah, mereka yang tidak dapat ikan pada akhirnya akan mendapatkan juga karena diberi oleh warga yang mendapatkan banyak ikan,” jelasnya.
Tenggangrasa seperti itulah yang terbangun dalam tradisi yang menangkap ikan Bersama itu.
Tradisi Masango dilaksanakan pada periode-periode tertentu, terutama di bulan-bulan tertentu seperti Februari pada saat air surut. Masango tidak boleh dilakukan secara sendiri-sendiri tetapi serentak selama periode waktu yang ditentukan.
“Ada batasan waktu dan orang-orang yang terlibat dalam tradisi Masango ini, dan semuanya harus tunduk pada aturan tersebut,” tandasnya.
Saat ini, terutama di sekitar wilayah Sawidago, pelaksanaan tradisi Mosango tidak sesering dengan yang dilakukan warga adat Pamona di beberapa wilayah peissir Danau Poso lainnya. Mosango di Sawdago seret karena sejumlah factor, terutama ketinggian air danau.
Masango menggunakan alat yang disebut Sango atau kurungan ikan yang terbuat dari lidi daun enau atau dari bambu yang dibuat dalam bentuk kerucut dan diikat dengan rotan.
Hajai menyebutkan, Mosango sesungguhnya adalah kegembiraan dari kebersamaan. Filosofi Mosango bukan hanya bahwa itu dilakukan bersama-sama oleh ratusan orang, tapi juga saling berbagi ikan dan air.
Saat tradisi Mosango itu dilakukan, maka wilayah pesisir danau menjadi milik semua orang.
“Ada istilah motila ri ue , atau berbagi rejeki di air. Orang tidak boleh menuntut harus dapat ikan yang sama, bahkan mereka akan bagi jika ikan yang mereka dapat lebih banyak dan yang lain tidak dapat,” jelas Hajai. (afd)