SIGI, beritapalu | Ratusan petani yang tergabung dalam Serikat Tani Sigi bersama Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) wilayah Sulawesi Tengah menggelar Dialog Kebijakan Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) yang diusung organisasi rakyat di Desa Sibowi, Kecamatan Tanambulava, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Senin (14/10/2024).
Dialog ini dihadiri Pemda dan otoritas kawasan hutan di antaranya Bupati Sigi, Irwan Lapata Tenaga Ahli Gubernur Sulteng M Ridha Saleh, Kepala Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu, Titi Wurdiningsih, Kepala Kanwil BPN Sulteng diwakili oleh Kepala Bidang Penataan dan Pemberdayaan, Nurdin dan Kepala Kantah BPN Sigi, Juwahir.
Kegiatan ini merupakan rangkaian strategi advokasi percepatan penyelesaian konflik agraria dan penguatan kebijakan reforma agraria yang atas inisiatif gerakan rakyat juga merupakan agenda nasional yang terus dikejar untuk memberikan keadilan dalam penyelesaian konflik agraria, kepastian hukum hak atas tanah, dan kesejahteraan bagi rakyat, terkhusus di Sulawesi Tengah.
Dialog kebijakan ini untuk mendesak LPRA guna mengoreksi kebijkan RA Jokowi yang dianggap keliru hanya sebatas mensertifikasi tanah (legalisasi aset) dan tidak menyelesaikan ketimpangan penguasaan lahan. LPRA bukan hanya sebagai database agraria semata. Lebih dari itu, secara filosofis LPRA merupakan alat konsolidasi bagi internal organisasi rakyat melalui pertemuan rutin, membangun keswadayaan, perencanaan tata kuasa dan tata guna tanah, hingga sampai penataan produksi, distribusi dan konsumsi.
Selain itu LPRA juga menjadi parameter bagi KPA untuk memetakan kekuatan organisasi anggota melalui kelengkapan data subjek-objek reforma agraria, sejarah penguasaan tanah dan dokumentasi lapangan. Sebab dalam kerja-kerja advokasi penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah, kelengkapan data LPRA menjadi indikator penting.
“LPRA hendak memastikan kebijakan reforma agraria dalam implementasinya selaras dengan tujuan dan ketepatan obyek serta subyek reforma agraria. Oleh karena itu, KPA selalu mengkritisi sekaligus mengkoreksi pelaksanaan kebijakan reforma agraria pemerintah yang sepihak dan tidak tepat sasaran, salah satunya Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Kebijakan ini masih bersifat Top-Down dan cenderung mengabaikan usulan dari masyarakat, bahkan sering terjadi ketidaksesuaian antara subjek dan objek di lokasi yang diusulkan,” kata Korwil KPA Sulteng, Doni Moidady.
Reforma Agraria di Sulteng
Reforma agraria (RA) merupakan program prioritas nasional yang diklaim bahwa dari total 9 juta ha tanah yang akan dimasukan dalam agendanya, seluas 5,5 juta ha akan dijalankan dalam kerangka legalisasi aset, dan 4,5 juta ha lainnya akan dijalankan dengan skema redistribusi tanah. Di Sulawesi tengah, program RA telah dijalankan di berbagai daerah di antaranya Kabupaten Sigi dan Tojo Unauna.
“Reforma Agraria merupakan pintu masuk strategis bagi pemerintah daerah Kabupaten Sigi dalam mengurus kepentingan rakyat, untuk memperoleh hak paling dasar, yaitu akses terhadap sumber penghidupan seperti tanah dan sumber agraria yang meliputinya,” kata Bupati Sigi Mohamad Irwan seperti dilansir sulteng.antaranews.com pada 2022 silam
Total luas usulan RA Kabupaten Sigi seluas 185.742,07 hektare yang telah diperjuangkan sejak 2016 hingga tahun 2022. Total luas reforma agraria itu terdiri atas luas usulan TORA dalam kawasan hutan 85.978,73 hektare, usulan TORA di luar kawasan hutan seluas 23.172,01 hektare, perhutanan sosial (hutan desa) 7.806,14 hektare dan hutan adat 68.785,20 hektare.
Gagalnya Reforma Agraria di Kawasan Hutan
KPA Sulteng menilai, dalam perjalananya rencana RA di sektor kehutanan telah gagal mencapai target, bahkan belum mendekati target yang telah direncanakan. RA disektor kehutanan hanya menyentuh 390 ribu ha selama masa pemerintahan Jokowi.
Di Sigi, kegagalan RA dikawasan hutan dapat dilihat seperti dari kasus pengusulan kawasan hutan di Desa Balumpewa sebagai objek RA yang hingga kini masih mengalami jalan buntu. Desa Balumpewa memiliki luas total 2.252,18 ha terbagi menjadi, 201,53 ha dikuasai oleh masyarakat, dan 2.050,83 telah diklaim negara masuk dalam Kawasan hutan.
Proses ini kemudian disebut sebagai Proses ”negaraisasi tanah” yang menyebabkan penguasaan dan kontrol negara yang sangat luas atas tanah di Desa Balumpewa. Implikasi dari proses ini adalah kondisi penguasaan tanah antara negara dan warga menjadi sangat timpang dan melahirkan konflik yang berkepanjangan.
Keberadaan tanah dalam kawasan hutan konservasi yang sejak lama telah dimanfaatkan untuk pemukiman, Fasum dan Fasus semacam ini membuat usulan pelepasannya untuk dijadikan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) merupakan sesuatu yang bukan saja masuk akal, melainkan juga sangat mendesak. Sebaliknya, opsi kebijakan pemerintah untuk memindahkan pemukiman warga (resettlement) ke lokasi di luar kawasan hutan konservasi bukan saja akan membutuhkan biaya yang sangat besar, tetapi jelas akan menimbulkan konflik dan masalah baru lainnya.
Berdasarkan usulan dari masyarakat Balumpewa, TORA paling luas yang diajukan adalah tanah yang berasal dari hutan konservasi sebanyak 326,29 hektar, kemudian berasal dari hutan lindung seluas 136,37 hektar, dan sisanya berasal dari APL seluas 2,35 Ha. Tahapan-tahapan penapisan kebijkan yang dijalankan di Desa Balumpewa untuk memverifikasi usulan masyarakat dianggap sangat menyulitkan. Hal ini menyebabkan luasan TORA di desa ini berbeda jauh antara usulan masyarakat dan hasil verifikasi yang dilakukan pemerintah.
Inisiatif Serikat Tani Sigi
KPA Sulteng menilai bahwa mekanisme penentuan objek RA yang dijlankan pemerintah saat ini melalui kebijakan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) merupakan formalitas negara saja, sehingga tidak menjelaskan kesungguhan negara dalam memitigasi konflik agrarian itu terjadi.
“Sehingga KPA secara organiasasi mendorong dan mendesakan mekanisme LPRA kepada Gerakan sosial dan pemerintah untuk lahirnya jalur alternatif dalam permasalahan konflik agrarian yang ada” ujar Doni Moidady.
Merujuk data yang dirilis dalam website LPRA kerja sama KPA dan Auriga, terdapat 12 LPRA di Sulawesi yang berkonflik dengan kawasan hutan, termasuk Serikat Tani Sigi di Desa Sibowi dan Desa Sibalaya Utara. Paling baru usulan peta LPRA yang dilakukan secara partisipatif yang dikerjakan Serikat Tani Sigi bersama KPA telah merampungkan peta subjek-objek terverifikasi di Desa Sidondo 1, Desa Sibowi dan Desa Lambara. Dari Hasil identifikasi LPRA usulan dari Serikat Tani Sigi Terdapat 275 Subjek reform yaitu 235 Laki-laki, 40 Perempuan dan 2 Lahan Kolektif lalu terdapat 1 Lahan Cadangan yang nanti akan dipergunakan sebagai Fasum & Fasos. Dengan begitu terdapat rincian sebagai berikut desa Sidondo 1 : 60.83 Ha, Sibowi: 207.94 Ha, dan desa Lambara : 76.90 Ha.
Bupati Sigi, Moh Irwan Lapatta menyatakan, terdapat mekanisme yang dapat ditempuh untuk mengajukan perubahan status lahan, bisa dimulai dari permohonan masyarakat kepada Gubernur hingga kepada Presiden.
Menurutnya,penting menjaga kelestarian hutan sesuai dengan Undang-Undang agar tidak dirusak atau dijual kepada pihak luar untuk kegiatan yang merugikan masyarakat, seperti pertambangan.
Bersamaan dengan itu Kepala BBTNLL, Titik Wurdianingsih mengatakan pihaknya memiliki program-program pemberdayaan masyarakat di sekitar taman nasional dan memberi akses bagi masyarakat yang sudah lama mengelola tanah sebelum adanya taman nasional seperti perhutanan sosial dan hutan adat.
Kepala Balai juga menyatakan agar STS dapat mengusulkan lahan yang telah diklaim tersebut ke dalam skema “Hutan Adat” seperti yang sudah diatur dalam pasal 67 Undang-Undang Kehutanan No. 14 Tahun 1999, juga merujuk Putusan MK. 35 Tahun 2012 dan Perda RTRW Sulteng Tahun 2023-2042 yang memasukan enam hutan adat sebagai Kawasan Strategis Provinsi (KSP) dan Perda Kab. Sigi No. 15 Tahun 2014 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Perwakilan Kanwil BPN Sulteng, Nurdin menyatakan pada tahun 2019 pihaknya sudah melakukan inventarisasi klaim hak masyarakat di lima Kabupaten yang sudah dikeluarkan dari kawasan hutan.
“Yang sudah kami redistribusi atas usulan LPRA KPA yaitu di Tojo Unauna sebanyak 90an bidang sertifikat. Kami juga berharap usulan STS ini segera dimasukan dalam usulan LPRA prioritas 1. Di nasional juga sudah ada Satgas LPRA Nasional yang melibatkan Wakil Mentri ATR BPN dan Sekjend KPA pengarah Satgas tersebut.
Kantah BPN Sigi, Juwahir mengatakan sudah ada 6000an hektar usulan pelepasan kawasan hutan di Sigi untuk pemanfaatan. Ia juga mengtaakan jika pihaknya akan melakukan inventarisasi tanah di kawasan hutan khusus di Desa Sibowi, berdasarkan laporan masyarakat.
Tenaga Ahli Gubernur Sulteng, Ridha Saleh mengatakan dimungkinkan pengecualian hak di kawasan hutan yang memberi rasa keadilan kepada masyarakat. Selain itu, konflik antara petani dan masyarakat adat dengan BBTNLL mesti dimitigasi dengan mengakomodasi tuntutan masyarakat terkait penguasaan lahan.
Darfan Sahuri dari Badan Pimpinan Serikat Tani Sigi mengatakan, mereka tetap berpegang teguh pada usulan LPRA yang sudah dipetakan secara partisipatif. Ia meminta kepada pemerintah untuk mengeluarkannya dari kawasan hutan, karena 271 subyek yang dipetakan sebagian besar sudah memiliki alas hak (SHM) dan tanah waris sejak tahun 2001.
Korwil KPA Sulteng Doni Moidady menegaskan kembali, LPRA dapat menjadi medium mitigasi konflik sekaligus jalan keluar di tengah ketegangan relasi antara petani-penggarap dan masyarakat adat dengan otoritas kehutanan BTNLL.
Di momentum pilkada kali ini, Doni menyarankan agar isu-isu penyelesaian konflik agraria menjadi perhatian serius untuk diperdebatkan jalan keluarnya. Pemerintah harapnya, lebih berpihak kepada subjek yang sedang berkonflik dengan baik itu badan negara seperti Bank Tanah, otoritas Kawasan hutan seperti BBTNLL dan pihak perusahaan khususnya industri ekstraktif yaitu tambang dan perkebunan sawit. (afd/*)