JAKARTA, beritapalu | Menjelang pergantian kepemimpinan nasional, Gerak Rakyat Kawal Masyarakat Adat (Gerak Masa) menerbitkan sikap politik yang diteken koalisi sedikitnya 20 organisasi masyarakat sipil, Jumat (11/10/2024).
Sikap politik itu antara lain memaparkan rezim Joko Widodo yang meninggalkan warisan “dosa-dosa” kepada masyarakat adat dalam satu decade terakhir ini. Rezim ini dinialinya telah berkhianat kepada UUD 1945, ingkar pada janji politiknya dan gagal melindungi rakyat. Tak ada itikad baik yang ditunjukkan untuk kepentingan dan keberpihakan kepada masyarakat adat. Bahkan menurutnya, sebagian besar kebijakan pemerintah justru berorientasi pada perluasan dan penguatan sektor bisnis, kekuasaan telah digunakan sedemikian rupa guna melanggengkan kepentingan oligarki.
Berbagai produk hukum seperti revisi UU Minerba, UU CK, UU IKN, pengesahan UU KUHP menjadi bukti atas hal itu. Berbagai peraturan perundang-undangan tersebut didesain dan disahkan sengaja untuk menyangkal keberadaan lebih dari 40 juta masyarakat adat beserta hak-hak konstitusionalnya.
“Negara masih terus menerus mengedepankan skenario hukum yang berwatak merampas dan menindas masyarakat adat. Ini tercermin dari kebijakan pengakuan hukum masyarakat adat dan wilayah adatnya yang rumit, berbelit dan sektoral,” kata Koordinator Umum Gerak Masa, Rukka Sombolinggi dalam keterangan persnya, Jumat (11/10/2024).
Ia mengatakan, dalam banyak kasus bahkan hendak memisahkan proses pengakuan hak atas wilayah adat dengan masyarakat adat, mengecualikan wilayah-wilayah adat yang berkonflik dari target pemerintah.
“Artinya Presiden Joko Widodo dan Kabinetnya memang tidak memiliki kemauan politik yang tulus untuk mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak konstitusional masyarakat adat,” tegasnya.
Ia membeber, itu terjadi karena arah pembangunan ekonomi dan kebijakan dikendalikan pemodal, dimana DPR sendiri sebagai pembentuk undang-undang telah dikontrol para pengusaha.
“Saat ini sukar dipisahkan mana perwakilan rakyat dengan perwakilan korporat, sebab 55% anggota DPR adalah pengusaha dimana 26% diantaranya pengusaha skala besar. Hal ini berdampak pada cepatnya pembentukan hukum dan kebijakan yang melegalkan monopoli sumber agraria dan kekayaan alam lainnya demi pengusaha,” imbuihnya.
Ia mencatat sejumlah “dosa” rezim pemerintahan Jokowi sepanjang tahun 2014-2024 kepada masyarakat adat, antara lain: rezim Jokowi secara terang-terangan membegal RUU Masyarakat Adat yang menjadi harapan bagi seluruh masyarakat adat di nusantara dengan menolak pembahasan dan pengesahan RUU tersebut.
Juga terjadi perampasan wilayah adat demi memindahkan Ibu Kota Nusantara (IKN) ke Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar). Ia menilai, IKN hanya atas keinginan pribadi Joko Widodo dan segelintir pengusaha dan harus merenggut hak partisipasi penuh dan efektif dari masyarakat adat.
Perampasan tanah juga terjadi sangat cepat selama pemerintahan Joko Widodo. AMAN mencatat terdapat 687 konflik agraria di wilayah adat seluas 11,07 Juta Hektar. Korban akibat perampasan wilayah adat ini lebih dari 925 warga masyarakat adat yang dikriminalisasi, 60 orang direpresi dan banyak meninggal dunia.
Dalam 10 tahun terakhir terjadi 2.939 konflik agraria, tanah-tanah rakyat seluas 6,30 juta hektar dirampas demi dijadikan pusat bisnis pengusaha. Konflik agraria di atas juga dampak dari diabaikannya TAP MPR No.IX tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA.
Gerak Masa juga melihat pengakuan wilayah adat melalui perhutanan sosial sebagai menyesatkan. Meskipun tujuan perhutanan sosial untuk memberikan akses kepada masyarakat dalam pengelolaan hutan, tetapi secara nilai dan prinsip perhutanan sosial tidak dapat disetarakan dengan pengakuan penuh atas wilayah adat. Sebab hutan adat merupakan hutan dengan status hutan hak milik masyarakat adat berada di dalam wilayah adat, sebagaimana telah ditegaskan dalam Putusan MK.35 Tahun 2012.
Praktik kolonialisme baru melalui klaim Hak Pengelolaan (HPL) juga disebut memperparah pengaturan Hak Menguasai dari Negara (HMN) dan kewenangan/hak ulayat. Padahal Konstitusi dan UUPA jelas mengatur bahwa masyarakat adat memiliki hak dan kewenangan penuh pengaturan tanah-tanah di atas tanah ulayatnya masing-masing, sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2) dan 28I ayat (3) UUD 194, Pasal 2 UUPA dan Putusan MK 35.
Pemerintahan Jokowi disebutnya mengeluarkan solusi palsu untuk mengatasi krisis iklim melalui pasar karbon. Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mengintegrasikan izin lingkungan dan perizinan berusaha di sektor kehutanan, pertambangan, perkebunan, dan sektor lain dengan cara memberikan kemudahan kepada pelaku usaha untuk secara langsung mendapatkan wewenang pengelolaan karbon/emisi dari aktivitas bisnisnya.
“Pemerintah sama sekali tidak menjadikan masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai aktor utama dalam upaya mengatasi krisis iklim, justru berbagai aturan digunakan untuk memberikan impunitas bagi korporasi perusak alam dan lingkungan hidup untuk merampas ruang hidup masyarakat adat, petani, nelayan, peladang, perempuan dan kelompok marginal lainnya,” sebutnya.
Pemerintahan Jokowi jga masih mengutamakan bahan bakar energi fosil sebagai sumber pembangkit listrik di Tengah wacana transisi energi. PLTU Captive yang dibangun demi menyokong bisnis energi, tetapi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) skala besar seperti di Poso, juga dibangun untuk menjaga pasokan listrik industri tambang terutama pemurnian tambang.
Kawasan Industri Hijau dengan total mencapai 30.000 hektar disiapkan sebagai pusat sektor industri yang bermuara pada hilirisasi barang-barang tambang, dengan klaim sebagai kawasan penopang IKN. Kawasan “industri hijau” tidak lebih dari sekadar jargon, sebab kawasan industri ini dibangun diatas ekstraksi dan pembakaran fosil.
Food Estate dan Bank Tanah disebut pula sebagai taktik jaminan hukum untuk menguasai tanah. Melalui Bank Tanah 7,4 juta hektar tanah rakyat yang berasal dari bekas HGU akan dikuasai Bank tanah sebelum dijual kembali kepada pemodal. (afd/*)