JAKARTA, beritapalu | Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) menilai Bahlil Lahadalia sebagai pejabat publik yang anti kritik. Penilaian itu dilontarkan setelah Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) itu melaporkan narasumber Tempo dengan pasal pencemaran nama baik.
Laporan Bahlil itu disampaikan ke Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (19/3/2024) setelah narasumber Tempo itu mengungkap penyimpangan terkait kebijakan pencabutan dan pemulihan ribuan izin usaha pertambangan (IUP).
Majalah Tempo edisi 4-10 Maret menurunkan laporan utama berjudul “Main Upeti Izin Tambang”. Laporan tersebut juga ditayangkan Tempo dalam News Podcast Bocor Alus Politik berjudul “Dugaan Permainan Izin Tambang Menteri Investasi Bahlil Lahadalia” pada Sabtu, 2 Maret 2024.
Laporan itu menuliskan Bahlil mencabut ribuan izin usaha pertambangan dan perkebunan yang tak produktif dengan alasan untuk memperlancar investasi. Rencana pencabutan itu dimulai pada Mei 2021 dengan penerbitan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Percepatan Investasi.
Tetapi banyak pengusaha tambang resah atas pencabutan izin usaha itu. Tempo telah menemui lebih dari 10 pengusaha tambang nikel sejak Oktober 2023 untuk menguji informasi tersebut. Semua pengusaha mengungkapkan bahwa Menteri Bahlil dan orang-orang dekatnya meminta uang atau saham untuk memulihkan izin yang telah dicabut tersebut.
Sebagian dari mereka mengaku izin usaha pertambangannya telah dicabut Bahlil Lahadalia. Laporan itu juga menyampaikan kebijakan pencabutan izin dilakukan tebang pilih dan tidak memiliki kriteria jelas. Tempo menemukan perusahaan tambang Bahlil tetap hidup meski tak lagi produktif.
Bahlil menganggap narasumber di liputan itu telah mencemarkan nama baiknya. Ia merasa dirugikan. Terkait dengan daftar nama yang dilaporkan, Bahlil menyebut telah menyampaikan sejumlah nama di internal Kementerian Investasi serta nama lain untuk dimintai keterangan polisi.
Atas laporan itu, Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) menilai Bahlil Lahadalia sebagai pejabat publik yang anti kritik. Pelaporan itu telah mengancam kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan mencederai demokrasi di Indonesia.
Ancaman kriminalisasi narasumber pemberitaan akan merugikan publik. Kriminalisasi akan menciptakan kebuntuan dalam mencari narasumber yang valid. Selain itu, akan membuat orang semakin takut menjadi narasumber, saksi untuk mengungkap sebuah kejahatan korupsi dan kejahatan lainnya, karena yang dihadapi ancaman hukuman pidana maupun perdata.
“Pelaporan narasumber Tempo itu mengancam kemerdekaan pers dan menjadi preseden buruk bagi demokrasi,” kata Erick Tanjung, Koordinator KKJ.
Padahal, hak mencari dan mendapatkan informasi dijamin oleh konstitusi. Secara internasional, hak atas kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi juga dijamin pada Pasal 19 dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Komentar Umum Nomor 34 terhadap Pasal 19 ICCPR.
Hak tersebut juga dijamin dalam Pasal 28E dan 28F UUD, serta pada Pasal 14 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Sementara itu, terkait tindakan Tempo tidak membuka identitas para narasumber karena pertimbangan keamanan dijamin oleh Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Apalagi Dewan Pers yang telah menilai liputan tersebut telah menyatakan secara prosedural, liputan “Tentakel Nikel Menteri Bahlil” tersebut tak melanggar kode etik.
“Tempo juga mempunyai hak tolak mengungkap identitas narasumber. Hal ini dijamin dalam Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers,” ujar Erick.
Direktur LBH Pers Ade Wahyudin mengatakan narasumber berita merupakan bagian dari produk jurnalistik. Oleh karena itu, narasumber tidak tidak dapat dipidana karena dilindungi oleh Undang-undang Pers.
“Maka sesuai dengan UU Pers, jika tidak terima atas berita atau terjadi protes, dapat diselesaikan dengan mekanisme hak jawab dan hak koreksi. Jika belum cukup, pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan, dapat melapor ke Dewan Pers untuk penyelesaian sengketa,” jelas Ade.
Sebelumnya, sudah ada yurisprudensi dalam kasus serupa. Mahkamah Agung (MA) sudah pernah menetapkan bahwa narasumber berita tidak bisa dijerat pidana dengan pasal pencemaran nama baik. Hal ini terdapat dalam putusan kasasi perkara terdakwa Mohammad Amrullah yang dilaporkan perusahaan tambang karena pernyataan sebagai narasumber di salah satu pemberitaan pers pada 2016.
Putusan dengan nomor 646 K/Pid.Sus/2019 itu menghasilkan amar yang membebaskan Mohammad Amrullah dari dakwaan. Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan narasumber berita tidak bisa dikenakan Pasal 27 Ayat 3 UU ITE tentang pencemaran nama baik. Sebab, produk jurnalistik sepenuhnya menjadi tanggung jawab media pers, bukan narasumber.
“Pernyataan atau informasi narasumber dalam pemberitaan merupakan produk jurnalistik, yang bertanggung jawab adalah Pemred media pers tersebut,” kata Ade.
Komite Keselamatan Jurnalis dideklarasikan di Jakarta, 5 April 2019. Komite beranggotakan 10 organisasi pers dan organisasi masyarakat sipil, yaitu; Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, SAFEnet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Amnesty International Indonesia, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Pewarta Foto Indonesia (PFI). (afd/*)