KONFLIK berdarah yang terjadi di Poso sejak 1998 tak menyisakan apa-apa selain duka dan sesal yang tak berkesudahan. Bahkan hingga kini, puluhan tahun setelah kerusuhan besar memakan banyak korban, Poso masih kerap dilekati stigma sebagai kawasan berbahaya dan ladang pertempuran.
Stigma tentu tak sama dengan fakta. Stigma adalah pandangan miring yang didasari oleh asumsi negatif, yang tak jarang justru manipulatif, karenanya ia tak bisa dijadikan sandaran untuk kebenaran.
Sebab faktanya, Poso adalah kota yang tenang. Warganya ramah, senyum dan sapa selalu tersungging di wajah mereka. Di kota ini, berbagai fasilitas publik tampak terus digenjot pembangunannya. Poso seolah tak mau tertinggal dalam derap pembangunan, mereka berusaha bangkit dari belitan konflik yang mencekik.
Di antara sekian banyak tokoh masyarakat yang ada di Poso, nama Haji Muhammad Adnan Arsal memiliki tempat tersendiri di hati warga. Bagi banyak warga Poso, Haji Adnan –begitu ia biasa disapa— adalah orang tua yang menghujani warga dengan perhatian, hal inilah yang menjadikannya begitu lekat dengan Poso.
Keseriusannya mendampingi Poso telah teruji. Apa pun yang terjadi di wilayah ini, ia tak pernah pergi.
Saat Poso diporakporandakan oleh konflik komunal yang menggilas sejak 1998, Haji Adnan adalah sedikit dari tokoh masyarakat yang memilih, dan berani, untuk tetap bertahan. Ia tak lari, tak juga ia pergi demi menyelamatkan diri sendiri. Haji Adnan bertahan. Ia tampil sebagai tokoh yang memimpin warga muslim melawan kezaliman, namun ia terpaksa melakukan itu semua hanya demi satu tujuan saja, yakni menjaga agar Poso tetap aman dan nyaman seperti sebelumnya.
Bersama tokoh-tokoh lain seperti Habib Saleh Alaydrus atau Habib Saleh Rotan dan H. Abdul Ghani T Israil, Haji Adnan mencurahkan seluruh perhatian dan kemampuannya demi melindungi warga Poso. Ia lakukan berbagai cara untuk menyelamatkan warga. Kegigihannya membangkitkan semangat warga Poso, khususnya yang beragama Islam, untuk tetap berjuang mempertahankan hak menjadi salah satu kunci keberhasilan Poso mentas dari konflik yang begitu mencekik ini.
Atas semua upayanya itu, harus diakui, Haji Adnan adalah tokoh sentral bagi Poso. Ia bahkan dijuluki sebagai sang Panglima, yang memimpin dan mengayomi warga apa pun garis takdir yang menimpa.
Namun, konflik di Poso nyatanya memang lebih pelik dari yang diduga. Meski sudah tak ada lagi gerombolan warga yang berhadap-hadapan dengan masing-masing mengacungkan senjata, tetapi trauma dan kekhawatiran masih menggelayut di benak sebagian warga. Memang, ada beberapa hal yang belum selesai, tetapi Poso pasti bisa merajut damai.
Kisah perjuangan sang Panglima, lengkap dengan pesan-pesan damainya, ditulis dengan sangat apik oleh Khoirul Anam dalam buku Muhammad Adnan Arsal; Panglima Damai Poso yang diterbitkan oleh Elex Gramedia, Jakarta.
Buku inilah yang akan dibedah pada Jumat, 21 Januari di Balroom Swisbel Hotel Palu. Dalam acara tersebut, Gubernur H. Rusdy Mastura dijadwalkan hadir untuk memberikan pidato kunci. (susunan dan pengisi acara terlampir).
Buku ini menegaskan fakta bahwa konflik di Poso sudah selesai, dan mengingat banyaknya kerugian dan kemalangan yang dialami masyarakat, maka aksi teror dan kekerasan –apa pun bentuk dan motifnya— tak boleh diberi ruang di bumi Indonesia. Pemerintah dan segenap masyarakat harus terlibat dalam upaya membangun damai, salah satunya dengan tegas menolak paham radikal.
Acara bedah buku ini dimaksudkan untuk menguatkan narasi perdamaian dan kemanusiaan, sekaligus meneguhkan pentingnya moderasi dalam beragama dan berkebangsaan agar Indonesia tumbuh menjadi bangsa yang damai dan sejahtera.
Secara khusus, Khoirul Anam menekankan bahwa konflik di Poso tak boleh diduplikasi di tempat-tempat lain. Hentikan teror sekarang juga. (afd/*)