BUOL, beritapalu | Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) mendesak Kapolri dan Kapolda Sulteng untuk menarik pasukan gabungan Plori dan TNI yang kini berada di kasawan perkebunan sawit PT Hardaya Inti Pantations (HIP).
Desakan itu dikeluarkan menyusul terjadinya pengerahan ratusan aparat gabungan di beberapa titik di antarana di Pokso Babal, Posko dalam PT HIP, Posko antara Desa Mouyong dan Desa Rantemaranu, Posko Winangun dan yang berada di lokasi pemanenan.
Kepala Departemen Kampanye AGRA, Raden Deden Fajarullah mengatakan, selain aparat, tim legal PT HIP dan Satpam juga berada di lokasi pemanenan paksa kebun sawit di lahan kemitraan Amanah 1 Desa Winangun-Kabupaten Buol.
Raden menyebtukan, pengamanan TNI-Polri di lokasi kebun berasal dari laporan PT HIP akan adanya aktifitas petani pemilik lahan melakukan kerusuhan di lokasi kebun kemitraan Amanah 1 Desa Winangun.
Laporan tersebut, diketahui oleh petani pemilik lahan dihari sebelumnya, Selasa (30/7/2024) ketika 4 personel kepolisian mendatangi salah seorang petani untuk menanyakan kebenaran laporan tersebut.
Raden menilai, laporan PT HIP itu ke Polda Sulteng adalah palsu, tanpa dasar dan provokatif. Ini disebabkan karena setiap aktifitas perjuangan petani selalu dilayangkan surat pemberitahuan, namun oleh PT HIP menggunakan pengamanan itu untuk membuka paksa dan memulai kembali aktifitas di lahan kemitraan.
Sumber masalah antara masyarakat pemilik lahan dan PT. HIP bermula ketika petani pemilik lahan selama 16 tahun menjalankan program kemitraan sama sekali tidak pernah mendapatkan bagi hasil/SHU dari kebun-kebun yang dimitrakan dan dikelola oleh PT. HIP.
Pperusahaan justeru membebankan utang besar hingga ratusan milyar kepada petani pemilik lahan. Hal ini berbanding terbalik dengan hasil dari perkebunan yang dimitrakan dan juga beban utang/kredit di bank yang sudah dinyatakan lunas.
Selain itu PT. HIP juga menahan sertifikat tanah (SHM) milik masyarakat yang diambil alih secara sepihak dari bank, ditambah perusahaan selalu menolak tuntutan petani selama bertahun-tahun dan akhirnya menutup lahan.
Ratusan petani pemilik lahan peserta kemitraan perkebunan sawit ini merasa menyesal telah ikut serta dalam program yang dicanangkan oleh pemerintah, Program revitalisasi perkebunan yang menjanjikan kesejahteraan bagi petani, dianggap gagal dan justru memiskinkan masyarakat pemilik lahan, bahkan secara esensi merupakan salah satu bentuk penguasaan atas tanah milik petani oleh perusahaan.
Beriringan dengan itu juga, untuk melemahkan perjuangan petani yang terus menuntut haknya, PT. HIP melakukan kriminalisasi kepada petani dan aktivis yang berjuang bersama petani. Sepanjang perjuangan penutupan operasi kebun oleh Petani, 17 orang petani dan aktivis telah mendapatkan surat panggilan dari kepolisian untuk dimintai keterangan, 16 orang sebagai saksi dan 1 orang ditetapkan sebagai tersangka.
Dari 17 orang tersebut terdapat Ketua dan Sekretaris Forum Petani Plasma Buol (FPPB), Muhamad Ali (Ketua Umum Pimpinan Pusat AGRA) yang mendapatkan surat panggilan yang dikirim melalui Whatsapp untuk dimintai keterangan sebagai saksi di Polda Sulteng pada 1 Agustus 2024 yang ternyata merupakan surat pemanggilan kedua dimana surat pemanggilan pertamanya tidak pernah tersampaikan.
“Kami menilai bahwa Pemanggilan oleh POLDA Sulteng kepada Para Petani dan Aktivis yang sedang melakukan perjuangan untuk menuntut bagi hasil yang adil, merupakan upaya kriminalisasi berdasarkan permintaan PT HIP,” kata Raden. (afd/*)