BEBERAPA hari belakangan ini, ruang publik terisi oleh serpihan berita soal amicus curiae (AC). Meski hanya merupakan serpihan berita, magnetnya lumayan kuat menyedot perhatian.
Dalam amatan saya, ada dua hal yang menyebabkan AC bermagnet dan menggoda perhatian publik. Pertama, AC merupakan istilah yang bunyinya baru terdengar dikuping, pun dia merupakan kata yang belum lazim ditangkap oleh indera bacaan mata.
Kedua, AC berkelindan dalam radius frekuensi publik terkait sengketa pemeriksaan di Mahkamah Konsitusi (MK), menyoal nasib hasil pilpres 14 Pebruari 2024 lalu.
Bukti dan petunjuk atas sebab perhatian publik tersedot adalah, munculnya pertanyaan sebagai rasa ingin tau apa itu AC?, berlanjut pada pertanyaan apakah AC efektif dan determinan terhadap pemeriksaan yang tengah berlangsung di MK?
Tulisan ini, tidak akan mengulas dua pertanyaan di atas, karena saya yakin selama kurang lebih 4 x 24 jam lalu, telah banyak yang mengulasnya (termasuk saya).
Kali ini saya hanya akan memotret AC di altar realitas terkini, di saat begitu maraknya para amici curiae, dan opini yang berbarengan dengannya.
Misal, apakah ibu Megawati tepat menggunakan sarana AC?
Pun bagaimana pula dapat memahami opini tuan Oto Hasibuan terkait pernyataannya yang mengatakan bahwa: AC berfungsi dan bertujuan untuk membantu hakim (pengadilan), bukan membantu para pihak.
Realitas itu bagi saya menempatkan AC di persimpangan jalan, yang rambu arah perjalanannya belum tersedia memadai.
Inilah sebabnya mengapa tulisan ini diinisiasi, agar ruang publik terisi informasi yang relatif memadai dan tidak semakin membingungkan.
Untuk melakukan semua itu, akan dilanjutkan pada tulisan seri berikutnya..
*) Penulis Dosen di Fakultas Hukum Universitas Tadulako