PALU, beritapalu | Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palu berkolaborasi dengan Google News Initiative menyelenggarakan program pelatihan Mis/Disinformasi pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 selama dua hari, dimulai Sabtu,(1/7 ) dan berakhir Minggu (2/7) di Palu diikuti 25 jurnalis dari berbagai media cetak, elektronik, dan online.
Ketua AJI Palu,Yardin Hasan menyebut pentingnya program pelatihan ini karena jurnalis berperan penting dalam menangani isu-isu terkait pemilu. Ia menyoroti meningkatnya ancaman terhadap keselamatan jurnalis dan prevalensi informasi yang menyesatkan di platform media sosial selama periode pemilu 2024.
Ia mendorong para peserta untuk terlibat aktif dalam sesi pelatihan dan berkontribusi dalam memberikan informasi yang kredibel dan bertanggung jawab kepada masyarakat Sulteng terkait isu-isu pemilu.
Program pelatihan mencakup berbagai topik, antara lain mengidentifikasi model dan bentuk disrupsi informasi dalam pemilu, dampak destruktif polarisasi terhadap demokrasi, transformasi kampanye pemilu di era digital, memerangi disrupsi informasi dan ujaran kebencian dalam lanskap politik.
Salah seorang peserta, Ikram dari Media Alkhairaat.id menilai pelatihan terkait pemilu tersebut penting karena dapat meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan sebagai jurnalis.
Salah seorang narasumber Nurika Manan dalam pelatihan tersebut menjelaskan, secara umum ada tiga jenis gangguan informasi. Pertama, informasi yang salah adalah informasi palsu yang dibagikan oleh individu yang benar-benar percaya itu benar.
Kedua, disinformasi mengacu pada sengaja menyebarkan informasi palsu untuk tujuan tertentu. Ketiga, malinformasi melibatkan penyalahgunaan informasi untuk menyebabkan kerugian, seringkali dengan membawa informasi pribadi ke ruang publik.
Nurika menegaskan, ketiga jenis gangguan informasi ini dapat mempengaruhi pengambilan keputusan warga di TPS.
Pembicara lain, Syifaul Arifin menyoroti, salah satu faktor penyebab polarisasi di Indonesia sejak 2014 adalah meningkatnya penggunaan media sosial sebagai media kampanye, termasuk penyebaran pesan politik polarisasi, yang seringkali diikuti dengan aksi offline.
Dengan adanya tantangan tersebut, Arifin mengajukan pertanyaan tentang bagaimana jurnalis dapat memperoleh kembali kepercayaan publik dan melaporkan polarisasi dan konflik politik tanpa memperkuat atau mempertajamnya.
Ia menegaskan, jurnalis harus kembali pada tugas utamanya melayani kepentingan publik ketimbang kandidat atau partai politik tertentu. Ini termasuk melindungi hak-hak kelompok minoritas.
Lebih lanjut Arifin menekankan pentingnya memperkuat berita lokal, mempraktikkan jurnalisme berbasis solusi, mempromosikan jurnalisme perdamaian, dan mendorong dialog.
“Peran media dalam menciptakan ruang dialog antar individu yang berbeda pandangan semakin dilihat sebagai cara lain untuk mengatasi polarisasi politik di masyarakat,” pungkasnya. (afd/*)