PALU, beritapalu | Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu (PPHM) yang diketuai Prof Makarim Wibisono hadir di Palu sejak Senin (28/11/2022) untuk mendapatkan masukan-masukan dari berbagai pihak.
Masukan itu akan disusun sedemikian rupa dan menjadi rekomendasi kepada pemerintah untuk penyelesaian non yudisial pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu, terutama peristiwan tahun 1965/1966.
Tak hanya di Palu, tim yang dibentuk berdasarkan Kepres Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM itu sebagai komitmen pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu.
“Tim ini diberi waktu hingga 31 Desember mendatang untuk menyusun rekomendasi-rekomendasi penyelesaian masalah pelanggaran HAM berat di masa lalu,” ungkap Prof Makarim saat bertemu dengan sejumlah pegiat HAM di Palu, Selasa (29/11/2022) malam.
Tim PPHAM itu juga didampingi tim asistensi Ono Haryono dan dihadiri Sekjen Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKP-HAM) Nurlaela Lamasitudju, pegiat literasi Neni Muhidin, pegiat sejarah dan budaya Sulawesi Tengah Anto Hariyanto, jurnalis Jefrianto, dan Muh Firdaus, video documenter HAM.
“Palu kita kunjungi untuk mendapatkan masukan-masukan guna penyusunan rekomendasi itu, karena Palu memiliki spesifikasi tersendiri dalam pelanggaran HAM terutama peristiwa 1965/1966 yang berbeda dengan daerah lainnya,” aku Prof Makarim.
Ia menyebut, momentum 2012 di mana Wali Kota Palu yang saat itu dijabat oleh Rusdy Mastura yang secara terbuka meminta maaf kepada korban pelanggaran HAM dinilainya sangat fenomenal karena pertama kalinya ada kepala daerah di Indonesia yang melakukan itu.
Beberapa usulan rekomendasi dikemukakan oleh aktivis HAM pada kesempatan tersebut, terutama bagaimana agar stigma negative yang dilekatkan kepada korban dapat dihapus atau dihilangkan.
“Stigma ini melekat bukan hanya kepada korban langsung tetapi juga kepada anggota keluarganya, mulai dari anak hingga cucunya,” ujar Firdaus.
Tak itu saja, Sekjen SKP-HAM menilai, hal terpenting dilakukan selain menghapus stigma negative tersebut adalah bagaimana pemerintah memberi pengakuan kepada korban bahwa memang terjadi pelanggaran HAM di masa itu.
Selain itu menurut Nurlela, pemulihan bagi korban atau keluarganya, baik psikis, ekonomi, social juga harus dilakukan, dan mencegah pelanggaran HAM berat itu tidak terulang di masa yang akan datang.
“Pemulihan psikologis adalah yang terutama, karena pengakuan bahwa fakta itu terjadi dan mereka menjadi korban akan sangat mengobati mereka,” ujar Nurlela yang selama ini aktif melakukan advokasi korban pelanggaran HAM di Sulteng.
Menurut Neni Muhidin, pendekatan seni adalah salah satu yang dapat ditempuh. Ia bahkan mencontohkan bagaimana art approach itu dapat sangat efektif menjadi media untuk menyampaikan pesan-pesan khusus, termasuk dalam usaha menghapus stigma negative tersebut.
Anto Heriyanto mengaku banyak mengumpulkan guntingan-guntingan sejarah masa lalu tak terkecuali peristiwa 1965/1966 di Sulawesi Tengah. Ia menilai positif kehadiran tim PPHAM tersebut karena secara tidak langsung menunjukkan keinginan pemerintah dalam hal keterbukaan.
“Andai saja keterbukaan ini dapat diterjemahkan sebagai keterbukaan juga bagi arsip-arsip yang dikuasai negara termasuk peristiwa 1965/1966, tentu itu menjadi lebih baik,” ujarnya.
Sementara itu Jefrianto mengungkap bagaimana sejumlah warga etnis tertentu yang juga “dipreteli” di masa itu karena dinilai terlibat dan juga harus mendapat perhatian dalam penyelesaiannya.
Prof Makarim menyampaikan terimakasihnya atas usulan-usulan rekomendasi tersebut. Ia berjanji, usulan-usulan tersebut akan diformulasi sedemikian rupa dalam bentuk rekomendasi dan akan diserahkan kepada pemerintah. (afd)