PALU, beritapalu | Forum Sudut Pandang, sebuah gerakan sosial melalui kesenian yang berbasis di Palu meluncurkan film dokumenter berjudul “Tanah Emas” di Marlah Hub, Palu, Senin (20/6/2022) malam.
Sutradara sekaligus penulis naskah, Rahmadiyah Tria Gayatri dalam sesi presentasi mengemukakan, jika ada sebutan lain yang relevan dengan Sulawesi, maka “Tanah Emas” adalah jawabannya.
Bagaimana bisa begitu? Menurut Ama, begitu perempuan ini akrab disapa, dalam lanskap Sulawesi Tengah, fungsi emas tidak hanya dimaknai sebagai perhiasan atau sekadar instrumen investasi. Emas bagi masyarakat di Sulteng ini serupa urat bumi, sebagai penyeimbang, perekat, penguat dan penghubung kekuatan pada inti bumi dan tanah atau bumi dimaknai sebagai ibu.
Film Tanah Emas merupakan proyek penelusuran cerita tentang emas dari hulu hingga hilir beberapa kawasan di Sulawesi Tengah, memotret cerita tentang desa yang kehilangan urat nadinya, tentang pemuda yang kehilangan nyawanya, tentang kampung dengan tradisi memandikan emas, tentang orang-orang yang mempertahankan tanahnya dari perusahaan tambang, dan tentang investasi emas yang dihargai setara dengan nyawa.
Di film berdurasi 25 menit tersebut, Ama mempertontonkan bagaimana emas diolah mulai dari penambangan yang dikelola secara “tradisional” yang kerap dilabeli “pertambangan rakyat”, penggunaan mesin tromol di sejumlah daerah pertambangan emas di Palu, Donggala, dan Parigi Moutong.
“Kami tidak bisa mengambil gambar pertambangan yang menggunakan alat berat karena suasananya sepertinya sangat lain, agak mencekam,” tambah Taufiqurahman, director of photography dan editor film documenter tersebut.
Tak itu saja, di film itu diperlihatkan bagaimana kekesalan seorang ibu yang anaknya tewas tertembak dalam aksi menolak pertambangan emas awal 2022 lalu.
Presentasi film yang dipandu pegiat literasi dari Nemu Buku, Neni Muhidin juga dihadiri Antropolog Muhamad Iksam dan Direktur Eksekutif Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng, Muhamad Taufik.
Iksam dalam paparannya menyebutkan, emas bagi warga Sulteng punya nilai tersendiri dan menyatu dalam kultur atau kebiasaan masyarakat setempat atau sering disebut sebagai kearifan lokal.
“Boleh diambil tapi tidak berlebihan,” kuncinya. Bahkan katanya, dalam sebuah komunitas, terdapat tradisi memandikan emas yang dilakukan dalam sebuah ritual. Emas pada titik ini tidak saja bernilai investasi, tetapi juga filosopis.
Iksam tidak bisa membayangkan risiko besar yang menghadang di depan tatkala eksploitasi besar-besaran terhadap emas di bumi Kaili ini terus menerus dilakukan tanpa kendali, terlebih di daerah rawan bencana.
Sementara itu, Taufik mengungkap tentang izin pertambangan di Sulteng yang saat ini telah lebih dari seribu izin.
“Tidak pernah ada permintaan persetujuan kepada masyarakat setempat apakah mereka setuju atau tidak jika ada penambangan di sutau wilayah, biasanya hanya sosialisasi Amdal,” sebut Taufik.
Film tersebut diproduksi oleh Forum Sudut Pandang, diproduseri oleh Dian Anggriani Putri, sutradara sekaligus scriptwriter Rahmadiyah Tria Gayathri, director of photography dan editor Taufiqurrahman, dan sound director Muh. Andi Fikri. (afd/*)