GOTHENBURG, SWEDIA, beritapalu | Sebuah studi baru yang dirilis Sabtu (26/6/2021) oleh International Pollutants Elimination Network (IPEN) menyebutkan bahan kimia beracun dalam ekspor limbah plastik dari negara-negara maju mencemari makanan di negara-negara berkembang/transisi di seluruh dunia.
Hampir semua plastik mengandung aditif kimia berbahaya. Sebagian besar sampah plastik yang diekspor dari negara-negara maju ke negara-negara dengan ekonomi berkembang atau ekonomi dalam transisi ditimbun, dibakar, atau dibuang ke saluran air. Semua metode pembuangan ini menghasilkan emisi yang sangat beracun di lingkungan selama beberapa dekade dan menumpuk di rantai makanan.
Salah satu buktinya ada pada sampah plastik yang meracuni makanan dan mengancam masyarakat di Afrika, Asia, Eropa Tengah dan Timur, serta Amerika Latin. Ini menunjukkan bagaimana metode penanganan sampah plastik tersebut akhirnya meracuni penduduk setempat.
Untuk penelitian ini, lembaga swadaya masyarakat (LSM) di 14 negara, yang dalam banyak kasus menerima sampah plastik dari luar negeri, mengumpulkan telur ayam kampung di sekitar tempat dan fasilitas pembuangan sampah plastik. Lokasi pengumpulan telur termasuk tempat pembuangan sampah plastik dan elektronik; tempat pembuangan sampah dengan jumlah sampah plastik yang signifikan; pabrik daur ulang dan fasilitas pemusnahan sampah yang menangani sejumlah besar sampah plastik; fasilitas pembakaran sampah serta pengolahan sampah menjadi energi (Waste-to-Energy).
Telur-telur ini kemudian dianalisis untuk diukur ada atau tidaknya kontaminasi dioksin. Dioksin adalah produk sampingan yang sangat beracun dari hasil pembakaran terbuka, daur ulang sampah, produksi bahan kimia, dan teknologi insinerasi. Selain itu, telur dianalisis untuk bahan kimia beracun lainnya yang dikenal sebagai “bahan kimia organik persisten” (POPs) yang telah dilarang atau sedang dalam proses dilarang secara global melalui Konvensi Stockholm.
Bahkan sejumlah kecil aditif kimia plastik dan emisi produk sampingan ini dapat menyebabkan kerusakan pada sistem kekebalan, reproduksi, kanker, gangguan fungsi otak, dan/atau keterlambatan perkembangan.
“Laporan ini menegaskan bahwa kerugian yang disebabkan oleh ekspor limbah plastik tidak terbatas pada sampah dan polusi yang terlihat, tetapi beresiko membahayakan kesehatan manusia yang disebabkan oleh kontaminasi rantai makanan di negara-negara pengimpor. Aditif kimia beracun dan zat paling berbahaya di dunia benar-benar mengalir ke rantai makanan di negara-negara yang tidak mampu mencegahnya,” ujar Lee Bell, Penasihat Kebijakan POPs IPEN.
Lebih lanjut, laporan tersebut juga menemukan bahwa tingkat dioksin dan PCBs dalam telur di beberapa lokasi sangat tinggi sehingga penduduk tidak dapat memakan satu telur pun tanpa melebihi batas aman untuk bahan kimia ini sebagaimana yang ditetapkan di Uni Eropa.
Beberapa hal lain yang juga ditemukan dalam laporan ini yakni: Telur yang dianalisis mengandung beberapa bahan kimia paling beracun yang sudah sangat familiar, banyak diantaranya dilarang atau diatur oleh hukum internasional, termasuk dioksin, dan bahan tambahan kimia PBDEs, PCBs, dan SCCPs.
Di hampir setiap tempat sampah plastik terbuka di mana telur diambil sampelnya, kadar dioksin melebihi batas konsumsi aman Uni Eropa (UE) yakni sebesar 2,5 pg WHO TEQ per gram. 2 Di beberapa lokasi, telur melebihi batas aman hingga sepuluh kali lipat. Untuk dioksin yang dikombinasikan dengan PCBs yang sama beracunnya dengan dioksin yang lain (sehingga diukur sebagai kombinasi) semua situs melebihi batas UE sebesar 5 pg WHO TEQ per gram3 dengan beberapa situs hingga enam kali lipat lebih tinggi.
Tingkat PBDE maksimum dalam sampel telur yang diambil di beberapa tempat dekat pembuangan sampah plastik sebanding dengan tempat sampah elektronik yang paling terkontaminasi di dunia yaitu di Guiyu, Cina.
Di satu lokasi di Indonesia, tingkat dioksin dalam telur berada pada tingkat yang sama dengan sampel telur di bekas pangkalan Angkatan Udara AS di Vietnam yang sangat terkontaminasi oleh Agen Oranye.
Tingkat POPs yang sangat tinggi terdeteksi di lokasi dimana plastik dan sampah elektronik dicampur dan kemudian dibuang dan/atau dibakar untuk memulihkan logam. Laporan ini menegaskan bahwa pembakaran campuran semacam ini sangat sering menyebabkan kontaminasi dioksin yang jauh lebih parah daripada pembakaran sampah secara terbuka di tempat pembuangan umum.
Selanjutnya, salah satu penulis laporan yang juga Direktur Program Racun dan Limbah Arnika, Jindrich Petrlik, mengatakan bahwa beberapa telur yang berada di sekitar tempat pembuangan sampah di Pugu Kinyamwezi, Tanzania, sudah terpapar dan terkontaminasi dioksin.
“Memakan setengah telur dari Pugu Kinyamwezi akan melebihi batas asupan harian yang dapat ditoleransi Otoritas Keamanan Pangan Eropa sebesar 7,5 kali. Ini sangat tidak masuk akal bahwa orang-orang terpapar pada tingkat kontaminasi berbahaya seperti itu,” ujarnya.
Petrlik menambahkan, dioksin dan POPs lainnya tetap berada di tanah selama beberapa dekade atau bahkan berabad-abad, menciptakan kumpulan kontaminan yang sangat beracun yang meracuni rantai makanan sekarang dan akan terus berlanjut untuk waktu yang lama di masa depan.
Laporan tersebut merekomendasikan kontrol global terhadap bahan kimia berbahaya dalam plastik dan diakhirinya ekspor limbah plastik. Ini juga meminta industri untuk berinvestasi dalam alternatif plastik yang aman, menghilangkan aditif kimia beracun untuk plastik, dan menciptakan sistem lingkaran tertutup yang tidak menghasilkan limbah beracun.
Sementara itu di Indonesia, Co-Founder dan Penasihat Senior Nexus3 Foundation, Yuyun Ismawati, mengatakan bahwa masalah pencemaran limbah plastik juga menjadi tantangan lokal dan global. Bukan hanya masalah sampah domestik yang menjadi tanggungan, namun juga membanjirnya sampah plastik impor dari berbagai negara.
“Sampel dari Indonesia memiliki beberapa tingkat racun tertinggi yang tercatat dalam penelitian ini. Eksportir tidak jujur dan tidak bertanggung jawab mengekspor sampah plastik ke Indonesia dan negara berkembang lainnya, dengan kedok untuk daur ulang yang belum tentu seluruhnya dimanfaatkan dengan benar” ujar Yuyun.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Founder ECOTON Prigi Arisandi. Dia menyampaikan kekhawatiran terkait lambatnya respon dari pemerintah Indonesia atas temuan dioksin di beberapa lokasi di Indonesia.
“Tanpa keseriusan dan komitmen dalam mengendalikan sumber pencemaran dioksin, saya kuatir dampaknya terhadap kesehatan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan akan masif. Terlebih lagi penggunaan plastik sekali pakai masih terus berlangsung dan tidak ada tanda-tanda melambat,” tegasnya.
Sementara itu, di belahan dunia lainnya yakni Kenya, masalah sampah plastik impor juga menjadi momok. Pusat Keadilan dan Pengembangan Lingkungan, Griffins Ochieng mengatakan, Afrika bukanlah produsen plastik atau kimia utama. Namun, sampah plastik dan kontaminasi tumbuh menyertainya.
“Mengapa? Karena negara-negara maju mengekspor limbahnya ke kita (Afrika). Masalah ini hanya akan bertambah buruk di tahun-tahun mendatang jika tidak dihentikan sekarang,” pungkasnya.
Sebagai informasi, sampel telur dari empat belas negara yang dianalisis terdapat sampah plastik yang meracuni makanan dan mengancam masyarakat di Afrika, Asia, Eropa Tengah dan Timur, dan Amerika Latin termasuk: Belarus, Kamerun, Republik Ceko, Gabon, Ghana, Cina, Indonesia, Kazakhstan, Kenya, Meksiko, Filipina, Tanzania, Thailand, dan Uruguay.
Ini adalah kali pertama dari serangkaian laporan IPEN tentang bagaimana bahan kimia yang digunakan oleh industri plastik yang mencemari masyarakat di negara-negara dengan ekonomi berkembang atau ekonomi dalam transisi.
Segera akan dirilis, berjudul ‘Bahaya Pengelolaan Sampah Plastik’, yang mendokumentasikan bagaimana sebagian besar klaim daur ulang plastik “ramah lingkungan” adalah penipuan dan kedok untuk praktik yang meracuni negara-negara berpenghasilan rendah. (afd/*)