GETAR alur rel Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2024 semakin dekat memasuki etape yang bisa bikin salah satu organ dalam tubuh berdetak tidak seperti biasanya.
Peristiwa dan keadaan itu dapatlah disebut dan digambarkan sebagai “dag dig dug days”(D4)
D4 ini menghentak nadi siapa saja, terutama pihak pihak yang berada di episentrum pilkada, yakni para balonkada/balonwakada, partai politik, pendukung/tim pemenangan.
Tak perlu meminta pengakuan dan persetujuan dari mereka atas pernyataan ini, karena ini merupakan fakta yang mengkristal dan telah menjadi kesadaran kolektif.
Tulisan pagi ini ingin mendeskripsikan sisi perilaku/sikap anggota partai dan/atau para pedukung/tim pemenangan dari masing masing pasangan balonkada/balonwakada (baik yang pada ukuran ukuran tertentu dapat disebut telah memiliki papan seluncuran untuk berselancar menghadapi ombak pilkada maupun yang belum) saat berada di etape yang memicu adrenalin ini.
Adalah tepat jika anggota partai (pendukung) dan/atau para tim relawan pendukung/tim pemenangan untuk all out menginformasikan hal hal positif tentang sosok balonkada/wakada yang didukungnya. Lebih dari sekedar itu sah dilakukan, wajib hukumnya bahkan!!!, karena mereka tengah “mencari yang sosok (pemimpin) yang diyakini tepat”.
Terhadap suatu pilkada yang kualitasnya akan hasilkan pilkada bermartabat, sikap dan ikhtiar “mencari” yang tepat saja sangat tidak memadai, dibutuhkan sikap dan ikhtiar bagaimana “menjadi” yang tepat.
Menyebarkan berita yang berisi potong-penggal tulisan/peryataan/gambar foto maupun video dengan maksud mendown grade balonkada/wakada tertentu, membangun narasi yang berisi serangan personal, bukan pada ide yang diucapkan oleh para balonkada/wakada, ini merupakan sekelumit ikhtiar dan sikap yang dapat ditengarai masih terbelenggu dalam kerangkeng “mencari yang tepat” bukan pada kualitas “menjadi yang tepat”.
Sidang pembaca yang budiman, jangan tanya ke saya bagaimana wujud-ejawantah kualitas sikap/ikhtiar “menjadi yang tepat dalam pilkada serentak itu?”, karena pertanyaan itu sangat sulit dijawab secara konseptual, sebagaimana sulitnya seorang bijak-cendikia menjawab saat ditanya, apa itu keadilan?.
Beliau hanya menjawab: keadilan adalah kabur, ketidakadilanlah yang jelas nan terang, dia adalah hal yang nyata ditemui, karena mencubit fitrah Agung manusia.
Demikian pula halnya dalam konteks pilkada serentak, jangan bertanya “bagaimana menjadi yang tepat saat berada di dalamnya”, tetapi sudahi sikap/perilaku mencari (balonkada/wakada) yang tepat membabi buta dan lewat batas. Karena hal itu nyata tidak membuat pilkada serentak punya kualitas yang beradab serta bermartabat.
Pemilu bermartabat terletak pada kesungguhan hati untuk menjadi bagian dari pelaku sejarah pembangun peradaban.
Ini tugas yang belum selesai kita kerjakan.(*)
*) Penulis Dosen di Fakultas Hukum Universitas Tadulako