Prof Zainal Abidin Ingatkan Piagam Madinah dan Kearifan Lokal

PALU, beritapalu | Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sulawesi Tengah, Prof Zainal Abidinmenekankan pentingnya membangun harmoni sosial melalui nilai-nilai keagamaan dan kearifan lokal.
Hal ini disampaikannya dalam Pidato Kebangsaan pada peringatan HUT ke-61 Provinsi Sulawesi Tengah di halaman Kantor Gubernur Sulawesi Tengah, Palu, Minggu (13/4/2025).
Dalam pidatonya, Prof Zainal mengingatkan bahwa konflik kemanusiaan di Poso pada awal 2000-an merupakan pelajaran berharga tentang mahalnya perdamaian. Ia menegaskan, meski konflik tampak sebagai persoalan agama, akar masalah sesungguhnya terletak pada ketimpangan sosial, ekonomi, dan ketidakadilan. Kini, Poso telah berubah menjadi simbol perdamaian berkat usaha bersama berbagai pihak, terutama tokoh agama.
“Poso kini menjadi simbol rekonsiliasi dan perdamaian, hasil dari kerja keras kita semua. Dari luka lahir harapan, dari konflik tercipta rekonsiliasi,” tutur Prof Zainal.
Ia mencontohkan praktik hidup berdampingan dalam sejarah Islam melalui Piagam Madinah yang dirancang Rasulullah SAW. Dokumen tersebut menjadi konstitusi sosial pertama yang menjamin hak bagi seluruh warga, baik Muslim maupun non-Muslim. Nilai-nilai seperti keadilan, penghormatan perbedaan, dan musyawarah dalam menyelesaikan konflik, menurutnya, sangat relevan dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Selain itu, Prof Zainal juga menyoroti kearifan lokal Sulawesi Tengah sebagai perekat sosial masyarakat. Ia menyebut nilai-nilai seperti mosintuwu (gotong royong), nosimpati (empati), dan nosarara nosabatutu (bersatu dan saling membantu) sebagai modal besar dalam menjaga harmoni.
“Nilai-nilai ini masih hidup dalam masyarakat kita, seperti musyawarah adat lintas agama di Lore yang menyelesaikan persoalan lahan dan pernikahan campuran. Di Kaili, ada nilai ‘maroso’ yang mengajarkan kejujuran dan pantang menyerah. Ini kekayaan budaya yang harus terus dirawat,” ungkapnya.
Dalam menghadapi tantangan modern, seperti maraknya ujaran kebencian di media sosial dan menguatnya politik identitas, Prof Zainal menyerukan perlunya strategi berbasis budaya, pelibatan generasi muda lintas agama, serta penyebaran konten damai di media sosial. Ia juga mengapresiasi program “Sulteng Mengaji” dan “Sulteng Berjamaah” yang dinilai membantu membangun kohesi sosial berbasis spiritualitas.
“Sulteng Mengaji tidak sekadar membaca kitab suci, tapi memahami dan mengamalkan nilai-nilainya. Sementara Sulteng Berjamaah mengajarkan kita tentang pentingnya bersatu dalam tujuan, saling mendukung, dan menjadikan pemimpin sebagai teladan,” katanya.
“Nilai-nilai agama harus menjadi cahaya penuntun untuk harmoni, bukan alat pemecah belah. Mari kita belajar dari kearifan masyarakat Kaili, bahwa agama sejatinya hadir dalam perilaku, bukan hanya dalam ritual,” pungkas Prof Zainal.
“Jangan lihat agama tetanggamu dari cara ia sembahyang. Lihatlah dari caranya memuliakan tamu, menjaga janji, dan menolong saat kamu susah,” tambahnya. (afd/*)