Ritual Pompaura di Kawasan Tambang Emas Poboya
PALU, beritapalu | Suara gimba bertalu memecah sore di kawasan pertambangan emas di Kelurahan Poboya, Palu, Senin (24/2/2025). Suara gimba itu mengantar pelaksanaan ritual adat Pompaura atau tolak bala yang sudah menjadi tradisi turun temurun masyarakat Suku Kaili, etnis mayoritas yang mendiami Lembah Palu.
Pemangku adat mengawalinya dengan persiapan Popembah atau pemercikan air. Ranting pohon Kolontigi, daun pandan, bunga putih dan tondorano diikat menjadi satu. Ikatan itu dicelupkan ke air di baskom, lalu dipercikkan ke warga.
Prosesi itu menjadi simbolisasi pembebasan warga dari penyakit, sekaligus mengembalikan penyakit itu kepada pemiliknya. “Prosesi ini menjadi awal dari adat Pompaura ini,” kata Abidin Nripa, pemangku adat di wilayah itu yang memipin Popembah tersebut.
Popembah adalah awaL ritual, rangkaian dari Pompaura itu selanjutnya dilaksanakan di sebuah bukit di kawasan pertambangan emas Poboya, tidak jauh dari kawasan yang sedang diekplorasi oleh PT Citra Palu Mineral (CPM) sebagai pemegang hak konsesi tambang wilayah itu.
“Buka kali ini saja dilakukan di wilayah tambang ini, jauh sebelum PT CPM masuk menambang disini, tradisi ini sudah dilakukan di kawasan ini, karena dari dulunya di snilah proses Pompaura itu dilakukan,” jelas Anosi Yalihana, salah seorang pemangku adat lainnya.
Sebuah ranting pohon bambu yang cukup lebat diberdirikan, lengkap dengan hiasan rumbai-rumbai dari janur kuning. Di antara janur kuning itu sejumlah ketupat, jagung, dan bahan pangan lainnya diikatkan. Bahan pangan itu melambangkan kesejahteraan.
Sesajian yang terdiri dari telur, beras ketan, pisang, ayam bakar dan sebungkus rokok ditempatkan di wadah khusus terbuat dari bambu dan diletakkan tepat di tiang utama ranting bambu yang menjulang. Seketika para pemuka adat mengambil tempat dan melafalkan Tutura dalam Bahasa Kaili.
Hingga tiba waktunya pemuka adat itu mulai bergetar, terduduk dan berada dalam nuansa magis. Sejumlah perempuan dengan pakaian menyolok berwarna kuning duduk bersila, menyelami makna tutur yang disampaikan pemuka adat.
Sesaat kemudian, beberapa warga yang hadir merasakan keadaan tidak biasa, masuk dalam suasana bawah sadar. Mereka berbicara dengan alam sekitarnya.
Begitulah Pompaura yang memiliki keunikannya sendiri. Ia berbeda dengan ritual tolak bala yang banyak dilaksanakan di berbagai daerah lainnya. Pompaura di Suku Kaili memiliki kekhasannya sendiri dan menjadi penyambung komunikasi dengan alam sekitarnya.
Abdin Nripa menyebut, ritual ini menjadi simbol penyeimbangan antara manusia dengan alam. Ini menjadi sakral karena kerap keseimbangan itu rusak oleh ulah manusia. “Pompaura ini berusaha menyeimbangkannya Kembali,” sebutnya.
Ritual itu cukup mengundang banyak perhatian warga sekitar. Lokasi ritual yang cukup jauh dari pemukiman tidak menyurutkan warga untuk datang langsung menghadirinya hingga jauh malam.
PT CPM sendiri mendukung pelaksanaan upacara adat itu, bahkan sumber menyebutkan, perusahaan yang belakangan ini dikuasai oleh Salim Grup mengentikan sementara proses produksinya selama ritual berlangsung.
General Maneger Eksternal Affairs and Security PT CPM, Amran Amir menyatakan dukungannya pada lembaga adat setempat untuk menggelar ritual adat di wilayah Poboya. Menurutnya, itu adalah bagian dari keberadaan CPM di Kota Palu dan menjadi bagian dari masyarakat lingkar tambang.
“Kami dari CPM menghormati dan memberi dukungan dilaksanakannya kegiatan adat di Poboya,” kata Amran dikutip dari TribunPalu.com, Senin (24/2/2025).
Abdin Nripa mengeaskan harapannya, wilayah tambang emas Poboya ini dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat Poboya dan Kota Palu.
Acara ini turut dihadiri oleh perwakilan Badan Musyawarah Adat Provinsi Sulawesi Tengah dan Dewan Musyawarah Adat Kota Palu. Selain itu, sejumlah tokoh adat, masyarakat Poboya, dan warga lingkar tambang juga turut hadir dalam ritual tersebut. (afd)