ATMAKUSUMAH Astraatmadja (Atma) sedang di kantornya, di Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), pada pertengahan tahun 2000, ketika telepon masuk dari Presiden Ramon Magsaysay Award Foundation (RMAF), Carmencita T. Abella. Mengabarkan Atma memenangkan penghargaan Ramon Magsaysay Award for Journalism, Literatur, and Creative Communication Arts.
Atma diminta hadir ke Manila, pada akhir Agustus 2000, untuk menerima penghargaan yang sering disebut sebagai “Hadiah Nobel-nya Asia.” Satu pengakuan atas peran substansial Atma dalam membangun pondasi era baru kebebasan pers di Indonesia, pada awal era Reformasi. Pondasi Kebebasan yang perlu diperkuat secara institusional, dibentengi dengan prinsip etika dan pers profesional.
Atma adalah jurnalis Indonesia ketiga yang mendapatkan Penghargaan Magsaysay. Penerima pertama Mochtar Lubis (pada 1958) kebetulan adalah pemimpin redaksi harian Indonesia Raya, koran tempat Atma bekerja sebagai jurnalis untuk pertama kali. Kedua, Pramudya Ananta Toer (PAT), pada 1995, yang bagi Atma adalah juga seorang jurnalis, meskipun PAT lebih dikenal sebagai sastrawan (novelis).
Atma memulai karir sebagai jurnalis di koran Indonesia Raya (edisi minggu), pada 1958, selepas lulus SMA di usia19. Pertama kali terbit pada 1949, Indonesia Raya (IR) dikenal sebagai koran perjuangan, dan Mochtar Lubis dijuluki “wartawan jihad”. Beberapa bulan awal menjadi jurnalis, di era Orde Lama, Atma langsung berhadapan dengan tekanan dan ancaman pemberangusan.
Laporan bersambung Atma tentang pemberian penghargaan Magsaysay untuk Mochtar Lubis dipersoalkan. Saat itu, selaku pemimpin redaksi IR, Mochtar Lubis berstatus tahanan rumah. Korps polisi militer mendatangi kantor redaksi IR dan meminta laporan Atma tentang lima penerima Magsaysay Award 1958 tidak boleh dilanjutkan. Satu paragraf tulisan Atma “Mochtar Lubis dikenal di kalangan pers international sebagai pejuang yang tidak pernah lelah melawan korupsi di pemerintahan, pelanggaran hak kebebasan, dan praktek totalitarisme di Indonesia”, tidak disukai kekuasaan.
Sebulan setelah kunjungan korps polisi militer itu harian IR dibredel, dicabut Ijin penerbitannya. Pembredelan ini merupakan kali keenam, dalam kurun waktu 1949 – 1958 di era Orde Lama. IR sempat terbit kembali pasca peegolakan politik 1965, namun mati untuk selamanya saat dibredel oleh penguasa Orde Baru pada Januari 1974.
Atma mengikuti jejak Mochtar Lubis sebagai “crusading journalist” (yang secara misnomer diterjemahkan menjadi “wartawan jihad”). Crusading Journalism adalah sikap jurnalisme yang mendedikasikan diri untuk memperjuangkan tujuan ideal, mengungkap kesalahan, serta berupaya mendorong reformasi politik atau peeubahan sosial. Memakai laporan investigasi dan liputan mendalam, untuk mengangkat kasus korupsi, pelanggaran, dan praktek ketidakadilan yang lazim dilakukan oleh kekuasaan. Jurnalisme jihad IR selalu menyuarakan kepentingan publik, dan memastikan penyelenggara kekuasaan bertanggungjawab.
Atma mengalami langsung rapuhnya kebebasan pers, sejak awal memilih profesi jurnalis. Sebagai wartawan muda, usia 19 tahun, ia menyaksikan koran pertama tempatnya bekerja dibredel. Ia dan sejumlah mantan wartawan IR bahkan masuk dalam “daftar hitam”, orang-orang yang praktis dilarang menjadi wartawan di Indonesia.
Atma harus mencari kerja di luar negeri, dan sempat berlabuh sebagai penyiar radio di Australia dan kemudian di Jerman. Kembali ke Indonesia pada 1965, Mochtar Lubis mengajak Atma bergabung dengan IR yang boleh terbit lagi, sebagai redaktur pelaksana. Namun IR kembali dibredel pada 1974, dan Atma lagi-lagi masuk dalam daftar hitam. Menjadi wartawan sudah tidak memungkinkan. Atma Kemudian berkarir sebagai staf di kedutaan besar Amerika, ikut mengelola United States Information Service (USIS), selama 18 tahun.
Pada 1992 Atma diajak bergabung menjadi pengajar jurnalisme di Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), lembaga yang didirikan oleh Dewan Pers, dan kemudian menjadi direktur eksekutif per-1994. Menjadi pengajar, pelatih, dan guru jurnalisme sangat pas untuk Atma untuk berbagi berbagi pengalaman dan pengetahuan.
Atma memimpin dan mengelola LPDS layaknya seperti suhu “perguruan bela diri”. Ia mengajarkan jurus-jurus jurnalistik, dengan penekanan pada prinsip profesionalisme. Agar murid-muridnya memiliki ketrampilan teknis dan memahami etika jurnalistik untuk menjaga diri dari jerat hukum, ancaman, dan tekanan kekuasaan Soeharto. Ketrampilan jurnalistik yang diperlukan setiap jurnalis agar tetap bersikap independen dalam sistem kediktoran yang menghimpit kebebasan.
Gerakan reformasi Mei 1998, membuka momentum kembalinya kebebasan pers, seperti era awal kemerdakaan (1945) dan awal munculnya Orde Baru (1966). Atma berada di pusaran perubahan politik yang membebaskan itu. Pertarungan Atma kemudian adalah bagaimana membentengi kebebasan pers yang baru diperoleh? Melalui tiga jurus: merumuskan UU Pers baru, membentuk Dewan Pers independen, dan membebaskan jurnalis berorganisasi.
Pengesahan UU Pers, pada September 1999, menghapus segala aturan yang membelenggu pers. Wewenang pemerintah untuk menyensor, membredel, atau mengatur pers ditiadakan. Pers bisa independen dari campur tangan kekuasaan, tidak lagi mensyaratkan perijinan untuk mendirikan usaha pers atau organisasi wartawan. Dunia pers dikelola secara swa-regulasi oleh komunitas pers sendiri, yang bermuara pada kewenangan etika Dewan Pers Independen. Atma secara aklamasi terpilih sebagai sebagai ketua Dewan Pers independen pertama.
Kebebasan pers yang kembali dinikmati (new-found freedom), ternyata mengundang berbagai problematiknya sendiri. Tanpa adanya pengaturan dan perijinan dari pemerintah, ribuan penerbitan (mayoritas berupa tabloid) dan “mendadak wartawan” bermunculan , Termasuk terbentuknya puluhan “organisasi wartawan”. Pendulum kebebasan pers berayun secara ekstrim, dari serba dikontrol menjadi serba “bablas”. Kebebasan pers kemudian justru sering dikeluhkan dan dikecam, karena terkesan kacau, sehingga dinamai secara peyoratif sebagai “kebablasan pers”.
Selaku Ketua Dewan Pers, Atma harus bertarung mempertahankan kebebasan pers dari rongrongan kebablasan pers–dan campur tangan pemerintah. Negara bukan lagi ancaman bagi kebebasan, tapi justru ekosistem pers bablas, menjadi ancaman utama. Kekerasan dan kriminalisasi terhadap jurnalis, kantor redaksi diserbu dan diduduki, adalah situasi nyata yang belum pernah ada presedennya dua tahun pertama era Reformasi. Kebebasan pers ternyata justru berpotensi menjadi problem, bukan solusi, dalam kultur masyarakat dengan defisiensi-etika.
Atma terus harus meyakinkan banyak kalangan dan mengkampanyekan pentingnya menjaga kebebasan pers yang dirongrong oleh kultur kebablasan. Selaku Direktur Eksekutif Dewan Pers, periode 2000-2003, saya mendampingi Atma melakukan sosialisasi kepada publik dan menggelar pelatihan jurnalistik di 30 provinsi. Kami yakin, saat itu, situasi kaotik akibat sejumlah pers atau wartawan yang tak terkontrol masih lebih baik ketimbang seluruh pers dikontrol.
Kontrol atas kebebasan pers adalah wilayah swa-regulasi dan otonomi organisasi profesi, sebagai public-sphere, bukan lagi–dan tidak tidak boleh lagi–menjadi domain negara atau pemerintah. Menjadi tugas komunitas pers sendiri untuk memperbaiki kinerja dan komitmen pers yang beretika dan profesional. Atma berupaya menegakkan etika dan profesionalisme pers itu melalui dua lembaga yang ia pimpin: Dewan Pers dan LPDS, secara bersamaan.
Atma dikenal sebagai pengajar yang ramah, suka mendengar, dan berdedikasi. Sikap kolegialitas, selalu tersenyum, membuatnya menyenangkan sebagai kawan bercakap dan tempat bertanya. Di kalangan jurnalis muda, ribuan wartawan dan staf hubungan masyarakat yang pernah ia didik dan latih, Atma adalah guru yang tak membuat jarak. Berbeda dengan figur seperti Mochtar Lubis atau Pramudya Ananta Toer, sesama penerima Magsaysay Award, yang asertif-agresif, keras dalam menyuarakan sikap dan prinsip, Atma cenderung soft-spoken dan rendah hati.
Atma pernah bercita-cita menjadi sastrawan, meskipun tak kesampaian. Menjadi wartawan lebih karena kegemarannya membaca dan menulis. Sejumlah buku tentang jurnalisme dan kebebasan pers telah ia tulis sebagai pengarang dan penyunting. Salah satu buku yang ia tulis dan banggakan adalah “Tahta untuk Rakyat” (1982), biografi Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sosok pemimpin yang ia idolakan dan kagumi.
Atma lebih menikmati sebagai guru, pendidik, penjaga, ketimbang petarung atau pejuang. Menjaga kebebasan adalah lanjutan dari memperjuangkan kebebasan. Ia terus aktif mengajar dan berbicara di berbagai seminar dan lokakarya tentang jurnalisme serta kebebasan pers, di dalam maupun luar negeri, di usia senjanya.
Atma tidak pernah lelah untuk terus menyuarakan dan menjaga kebebasan pers. Ia sering menganalogikan pers seperti saluran air. “Selokan harus terus dijaga kebersihannya dari segala sampah dan kotoran, agar air tetap bisa mengalir. Pers harus terus dijaga kebersihannya agar arus informasi lancar.”
Menjaga kebebasan pers, dengan membangun institusi, sistem, penegakan etika dan profesionalitas, adalah legasi Atmakusumah. Untuk peran penting itu ia mendapat penghargaan Magsaysay 2000, Press Freedom Award AJI 2008, juga penghargaan Lifetime Achievement dari Dewan Pers 2023.
Kini Atma sudah beristirahat dengan damai, meninggal dalam usia 86 tahun di awal tahun baru 2025. Kiprah dan kerja Atma belum selesai, legasinya untuk menjaga kebebasan pers, membersihkan selokan, di era baru dunia digital, perlu terus terus dilanjutkan. ***