PALU, beritapalu | Wilayah RT 02/RW 02 Kelurahan Lolu Selatan, Kota Palu, tepatnya di sebuah lapangan persis di samping Jembatan Gantung Nunu, riuh dengan suara canda di bawah tenda-tenda yang memanjang di setiap sisinya.
Mereka adalah warga dari Desa Petimbe, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi yang turun gunung untuk menjajakan beragam hasil buminya, mulai dari rempah-rempah, sayur mayur hingga bambu untuk Nasi Jaha atau Nasi Bambu.
Tradisi turung gunung seperti itu sudah menahun sejak beberapa tahun lalu setiap menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru. Mereka tidak sendiri-sendiri, melainkan berkelompok, dan di antaranya masing-masing membawa anggota keluarganya.
Tentu saja riuh, tidak karena transaksi saja, tetapi juga karena kehadiran anggota keluarga membersamainya. Keluarga harus ikut, karena tidak ada yang mengurus selama acara turun gunung yang bisa memakan waktu cukup lama sampai 10 hari.
“Kami sudah di sini sejak tanggal 22 Desember dan pulang nanti setelah tahun baru,” aku, Tina salah seorang warga Petimbe yang telah mengubah statusnya menjadi pedagang musiman sejak berada di kawasan tersebut, Minggu (29/12/2024).
Tina mengaku, butuh persiapan serius untuk melaksanakan rutinitas tahunan itu, mulai dari mobilisasi barang jualan, perlengkapan dapur, hingga sarana transportasi yang digunakan. Di antara mereka ada yang harus patungan untuk mencarter kendaraan agar seluruh kelengkapan berjualan selama rentang waktu itu dapat dimobilisasi.
Bila mereka sudah sampai di kota, praktis desa tempat tinggalnya jadi sunyi. Bagaimana tidak, hampir seluruh warganya berada di kawasan tersebut.
“Ini sudah agak berkurang dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kalau dulu, bahkan sampai ratusan orang. Mungkin sekarang karena sudah banyak yang berubah, terutama tempat jualan,” beber Tina yang mengaku telah turun berjualan seperti itu sejak beberapa tahun lalu sembari menunjuk ke rekan sesama warga Petimbe yang berjumlah puluhan orang.
Terhadap barang-barang yang dijualnya seperti rempah-rempah dan sayur mayur serta berbagai buah-buahan lainnya, ia mengaku selain ada yang diambl dari kebun sendiri, juga ada yang khusus diambil dari hutan karena hanya tersedia di hutan seperti pakis dan dedaunan yang dipakai untuk membuat sayur mirip lodeh.
Sedangkan bahan pangan lain seperti ubi, rebung, talas, rica dan asam sebagian besarnya berasal dari kebun sendiri.
Saat ini, para pedagang musiman itu merasa lebih sreg dengan tempat jualannya sekarang. Sebelumnya harus berpindah-pindah tempat karena perkembangan kota yang disebutnya kian pesat.
Dulu katanya pada beberapa tahun lalu, terpaksa main kucing-kucingan dengan petugas Satpol PP lantaran tempat yang digunakan berjualan tidak mengindahkan ruang-ruang khusus, seperti di pinggir jalan yang padat lalu lalang kendaraan.
Jauh sebelumnya pernah berjualan di pertigaan Jalan Pattimura-Hasanuddin, lalu pindah ke pertigaan Maluku-Woodward. Pernah pula di Maesa, dan kemudian dipindah lagi ke Lolu Selatan.
“Sekarang kita agak lebih tenang karena sudah ada tempat yang lebih luas, lapangan.” Sebutnya.
Ketua RT 002/RW 02 Kelurahan Lolu Selatan, Riffain Walandouw mengaku, menyediakan lapangan di wilayahnya untuk mengakomodir para pedagang musiman tersebut. Ia menyatakan, tidak semata karena mereka memberi imbalan sewa atas pemanfaatan lahan itu, tapi lebih kepada upaya melestarikan tradisi turun gunung ini.
“Ini bersifat musiman dan ini sudah berlangsung sejak lama. Kalau mereka tidak punya tempat untuk berjualan, maka pasti tradisi ini akan hilang,” ujar Riffain.
Riffain mengaku mengikuti dinamika pembangunan Kota Palu yang terus bergerak dan sementara itu ruang-ruang untuk berjualan secara tradisoonal semakin terbatas. Meski demikian, begitulah katanya perkembangan kota yang memerlukan penataan ruang agar lebih nyaman, bersih dan indah.
“Ini yang harus disadari, makanya kita mengakomodir mereka karena kebetulan ada lapangan di sini, karena kasihan juga mereka tidak punya tempat berjualan,” imbuhnya.(afd)