TULISAN ini sekedar catatan ringan untuk menyambut perhelatan Musyawarah Wilayah IV Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Tengah, yang rencananya akan berlangsung di Lipu Bangkagi, Kecamatan Togean, Kabupaten Tojo Una-Una, tanggal 25-27 Januari 2024.
Sebagai bentuk apresiasi kepada kawan-kawan pegiat dan komunitas masyarakat (hukum) adat yang ada di Sulawesi Tengah, saya mengucapkan selamat dan sukses penyelenggaraan Musyawarah Wilayah IV Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) Sulawesi Tengah. Karena sifatnya catatan ringan, tentunya hanya mengulas beberapa hal yang berkaitan dengan perjuangan panjang kelompok masyarakat yang kita sebut dengan istilah “masyarakat adat”, meskipun ada sejumlah pihak juga menyebutnya dengan istilah “masyarakat hukum adat”.
Saya tak ingin masuk ke dalam perdebatan dua istilah tersebut, karena bagi saya kedua istilah tersebut memiliki pemaknaan serta tafsirnya sendiri-sendiri berdasarkan alasan-alasan tertentu. Oleh sebab itu, judul tulisan ringan ini “Harapan Kita Terhadap Gerakan Masyarakat (Hukum) Adat Di Sulawesi Tengah”.
Mengorganisasikan Gerakan
Berangkat dari berbagai sumber yang dapat diverifikasi, sejak tahun 1980-an, bermacam organisasi nirlaba, aktivis sosial, aktivis HAM dan lingkungan, serta intelektual di Indonesia telah menyadari bahwa pembangunan yang tak terkontrol dan tanpa batas, telah berdampak negatif bagi kelompok-kelompok rentan, termasuk di dalamnya kelompok masyarakat adat.
Hingga tahun 1990-an, berbagai keresahan tersebut kemudian termobilisasi dengan baik menuju satu inisiatif sosial untuk membentuk wadah perjuangan bersama kelompok masyarakat (hukum) adat. Dimulai pada tahun 1993, dengan pertemuan para aktivis sosial, tokoh adat, akademisi, pembela HAM serta pembela lingkungan, yang diadakan di Toraja Provinsi Sulawesi Selatan, yang akhirnya melahirkan Jaringan Pembela Hak-Hak Masyarakat Adat (JAPHAMA).
Kemudian puncaknya ketika terselenggara Kongres Masyarakat Adat Nusantara I pada tahun 1999, yang dilaksanakan di sekitar Hotel Indonesia, Jakarta. Sejak saat itu, gerakan perjuangan kelompok masyarakat adat di Indonesia terkonsolidasi di dalam satu wadah bernama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Selanjutnya hingga tahun 2022, Aliansi Masyarakat Hukum Adat (AMAN) sejak terbentuknya di tahun 1999, telah menyelenggarakan Kongres Aliansi Masyarakat Adat (KMAN) sebanyak enam kali. Sebagai gerbong atas perjuangan gerakan Masyarakat Adat Nusantara, AMAN didirikan dengan tujuan terwujudnya masyarakat adat yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya.
Hingga saat ini, berdasarkan data Pengurus Besar (PB) AMAN, terdapat 2.449 komunitas masyarakat adat dengan anggota individu mencapai 20 juta orang, dari perkiraan total jumlah populasi masyarakat adat di Indonesia sebanyak 40-70 juta jiwa. AMAN memiliki Pengurus Besar (PB) yang berkantor di Jakarta dan Bogor, terdapat 21 Pengurus Wilayah (PW), serta 113 Pengurus Daerah (PD).
AMAN memiliki tiga organisasi sayap, seperti Persekutuan Perempuan Adat Nusantara (PEREMPUAN) AMAN, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), dan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN). Selain itu, terdapat dua badan otonom, yaitu Koperasi Produsen AMAN Mandiri (KPAM), serta Yayasan Pendidikan Masyarakat Adat Nusantara (YPMAN), termasuk unit usaha Credit Union Pancoran Kehidupan (CU Randu).
Perjuangan Di Sulawesi Tengah
Sebagai satu komunitas, masyarakat (hukum) adat tentunya memiliki kepentingan untuk diperjuangkan. Termasuk segala sesuatunya yang telah dan saat ini sedang diperjuangkan oleh kelompok-kelompok masyarakat adat yang ada di Sulawesi Tengah. Hingga saat ini, salah satu kepentingan yang terus diperjuangan oleh kelompok masyarakat adat di Sulawesi Tengah ialah perjungan untuk diakui bahkan dilindungi sebagai subjek masyarakat (hukum) adat.
Selain diperjuangakn oleh PB AMAN maupun PW AMAN Sulawesi Tengah, gerakan perjuangan pengakuan dan perlindungan masyarakat (hukum) adat ini juga digalakan oleh organisasi masyarakat sipil lainnya, misalnya oleh Yayasan Merah Putih (YMP), Perkumpulan BANTAYA, serta didukung oleh organisasi seperti Perkumpulan HUMA, Jaringan Pemetaan Partisipatif (JKPP), Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), dan juga WALHI.
Mengacu pada data yang bersumber dari beberapa organisasi tersebut, sejumlah kebijakan di tingkat daerah di wilayah Sulawesi Tengah telah dikeluarkan terkait keberadaan entitas masyarakat (hukum) adat. Misalnya, Peraturan Daerah Kabupaten Morowali Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Suku Wana.
Kemudian, Peraturan Daerah Kabupaten Sigi Nomor 15 Tahun 2014 Tentang Pemberdayaan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Selanjutnya, ada Peraturan Daerah Kabupaten Tojo Una-Una Nomor 11 Tahun 2017 Tentang Pengukuhan Masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana. Selain itu, terdapat Keputusan Bupati Sigi Nomor 189.1-521 Tahun 2015 Tentang Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat To Kaili Dan To Kulawi Di Kabupaten Sigi.
Juga, Keputusan Bupati Sigi Nomor 189-323 Tahun 2018 Tentang Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Dan Wilayah Adat To Kulawi Uma Di Moa Kabupaten Sigi. Serta, ada Keputusan Bupati Sigi Nomor 189-365 Tahun 2020 Tentang Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat To Kulawi Di Desa Lonca Kabupaten Sigi.
Berdasarkan data pada Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Sampai saat ini BRWA telah meregistrasi 1.336 peta wilayah adat seluas 26,9 Juta hektar, yang tersebar di 32 provinsi dan 155 kabupaten/kota di Indonesia. Khusus untuk wilayah Sulawesi Tengah, terdapat 94 wilayah adat, dengan jumlah yang telah teregistrasi sebanyak 13, terverifikasi 41, dan tersertifikasi 11.
Kemajuan lain, bahwa pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Tengah telah mengakomodir hutan adat ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi. Sesuai data Perkumpulan HUMA, sebanyak enam lokasi hutan adat telah dicantumkan dalam Kawasan Strategis Provinsi dengan total luasan 17.501 hektar. Hal itu merujuk pasal 57 Peraturan Daerah Sulawesi Tengah Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2023 – 2042, Lokasi hutan adat ini tersebar pada dua kabupaten, yakni satu lokasi di Kabupaten Morowali Utara (Wana Posangke) dan lima lokasi di Kabupaten Sigi (Marena, Masewo, Moa, Lindu dan Toro).
Tantangan Ke Depan
Ada banyak tantangan bagi gerakan perjuangan masyarakat (hukum) adat di daerah ini. Salah satunya, masih minim perhatian terhadap keberadaan masyarakat (hukum) adat yang ada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, selama ini lebih banyak terfokus di wilayah terestrial.
Oleh sebab itu, pemilihan lokasi Musywil IV AMAN Sulawesi Tengah di wilayah Kepulauan Togean, setidaknya memberikan secercah harapan bahwa advokasi AMAN Sulawesi Tengah juga akan memberikan perhatian yang sama terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Tantangan lainnya, masih berkaitan dengan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, bahwa bagaimana AMAN Sulawesi Tengah melakukan identifikasi dan pemetaan wilayah adat di sana. Mengingat bahwa Kepulauan Togean memiliki banyak kepentingan sektoral.
Sektoral pertama, di sana ada Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT) sebagai areal konservasi dan perlindungan, dengan luas areal mencakup 365.241,08 ha yang terdiri dari kawasan darat seluas ± 25.121,72 ha dan perairan laut seluas ± 340.119,36 ha. Hal ini sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 869/Menhut-II/2014 tentang Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan Propinsi Sulawesi Tengah. Serta Surat Kepala BPKH XVI Palu Nomor: S.13/BPKH/ISDHL/SDH.0/1/2016 perihal Data Kawasan Hutan Taman Nasional Kepulauan Togean.
Sektoral kedua, kawasan tersebut juga memiliki kepentingan Cagar Biosfer, mengingat bahwa pada tahun 2019 silam, UNESCO telah menetapkan kawasan tersebut sebagai Cagar Biosfer Togean Tojo Una-Una.
Sektoral ketiga, kawasan tersebut juga ditetapkan oleh pemerintah nasional maupun daerah sebagai destinasi wisata unggulan. Dengan keunggulan utamanya terletak di dalam gugusan segitiga terumbu karang dunia (world coral triangle), sehingga menjadi daerah yang cukup pesat industri pariwisata baharinya di region Sulawesi.
Sektoral keempat, ada kepentingan penyelenggaraan kelautan dan perikanan di kawasan itu. Dalam konteks kebijakan penyelenggaraan kelautan dan perikanan, Teluk Tomini adalah Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 715, yang memiliki potensi perikanan yang luar biasa.
Jika AMAN Sulawesi Tengah mampu mengoptimalkan sumber daya yang dimilikinya, tentu saja advokasi pengakuan dan perlindungan entitas masyarakat (hukum) adat yang tersebar di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Provinsi Sulawesi Tengah akan lebih mudah. Namun yang pasti, AMAN Sulawesi Tengah memerlukan kolaborasi, kerjasama bahkan berjejaring dengan organisasi masyarakat sipil dan gerakan pro demokrasi lainnya, bahkan mungkin bermitra dengan pemangku kepentingan terkait, untuk mewujudkan tercapaianya agenda perjuangan tersebut, baik di wilayah terrestrial maupun di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Akhirnya, selamat dan sukses penyelenggaraan Musywil AMAN IV Sulawesi Tengah di Desa Bangkagi, Kecamatan Togean, Kabupaten Tojo Una-Una.
———————————————————–
*Penulis adalah Direktur Eksekutif Yayasan Ekologi Nusantara Lestari (EKONESIA), peserta peninjau Musywil IV AMAN Sulawesi Tengah