SIGI, beritapalu | Pagi itu kabut masih menggantung rendah di perkampungan, sekelompok warga sudah bergegas untuk berangkat menuju ke arah Sungai Karangana di pinggir Desa Masewo, Kecamatan Pipikoro, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Mereka hendak memperbaiki jembatan gantung yang rusak akibat diterjang banjir beberapa waktu lalu. Jembatan ini menjadi akses jalan satu satunya untuk sampai ke desanya.
Hari itu, warga desa bergotong royong memperbaiki jembatan gantung yang akan dilalui oleh anak anak desa lainnya yang akan berkunjung ke desa Masewo. Ada perhelatan Jambore Sekolah Minggu yang akan dilaksanakan di desa mereka. Pesertanya datang dari 8 desa diwilayah Pipikoro Timur divisi Gereja Bala Keselamatan.
Desa Masewo adalah sebuah kampung kecil di sebelah Selatan Kabupaten Sigi. Letaknya hampir berbatasan dengan wilayah Kabupaten Luwu Utara, Provinsi Sulawesi Selatan. Untuk sampai ke desa ini cukuplah sulit, karena harus di tempuh hanya dengan menggunakan kendaraan roda dua, belum ada akses jalan untuk kendaraan roda empat dan sejenisnya. Jalan setapak yang dijadikan jalur transportasinya pun cukup ekstrim. Karena harus melalui lereng lereng bukit yang curam, dan di sebelahnya terlihat jurang yang menganga. Dibutuhkan keahlian untuk bisa mengendarai motor agar bisa selamat sampai ketujuan.
Masewo berada di ketinggian kurang lebih 1200 mdpl, masyarakat adat Kulawi Uma Masewo atau Topo Uma Masewo, masih menganut filosofi yang berlandaskan pada hubungan yang erat antara manusia dan alam, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong. Cara hidup mereka mencerminkan keselarasan dengan lingkungan alam, menghormati makhluk hidup, serta menjaga keseimbangan dalam ekosistem.
Kehidupan ekonomi Masyarakat Masewo sebagian besar bergantung pada pertanian dan perkebunan. Mereka hidup dengan sederhana, namun memiliki nilai-nilai kehidupan yang tinggi, seperti rasa saling membantu dan saling peduli. Kegiatan bertani dan bercocok tanam menjadi momen yang menyatukan mereka sebagai satu komunitas.
Kearifan lokal warga desa ini dapat dilihat ketika ada warga desa yang akan berencana akan membuka lahan utuk berkebun. Mereka harus memperhatikan betul wilayah yang akan dibuka menjadi kebun. Ada beberapa larangan yang menjadi rujukan ketika akan membuka kebun di wilayah tertentu yang memang tidak boleh dijamah oleh warga. Dalam bahasa Uma Kulawi disebut dengan Ko’olo yang berarti daerah yang sama sekali tidak dapat diganggu atau disentuh.
Ada dua alasan kenapa daerah itu tidak boleh dijamah. Pertama memang wilayah itu adalah wilayah yang dikeramatkan oleh masyarakat setempat. Sedangkan alasan yang kedua wilayah tersebut merupakan daerah yang menjadi sumber mata air bagi warga desa. Atau mungkin saja wilayah yang akan dibuka menjadi kebun itu dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan atau erosi yang bisa membawa bencana atau dampak yang buruk bagi mereka.
Yeremia Bodja (53) ketua lembaga adat Desa Masewo mengatakan jika ada masyarakat yang melanggar maka akan mendapat teguran secara lisan dari pemerintah desa atau lembaga adat setempat. Selain itu teguran bisa berasal dari “penunggu” wilayah tersebut.
“Selama ini memang belum ada yang melanggar, karena semua masih taat dan patuh dengan adat istiadat topo uma Masewo.” kata Yermia yang ditemui dirumahnya (6/7/23) lalu.
Topo Uma Masewo memandang hubungan dengan alam lingkungannya sebagai hubungan yang khusus atau sakral sebagaimana hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Itulah sebabnya secara praktis, kearifan lokal itu juga berisi sejumlah ritual dan pantangan-pantangan yang apabila dilanggar, dipercaya akan membawa bencana di kampungnya. Kemungkinan lainnya seperti terjadinya gagal panen, mewabahnya sakit penyakit dan berbagai bencana alam seperti banjir, kebakaran hutan, tanah longsor, gempa bumi bahkan kematian bagi mereka yang melanggar.
Maka untuk menghindari agar kampungnya tidak terkena tula atau prahara, maka dilakukanlah sejumlah ritual penolak bala seperti pemberian sesajen, penyembelihan hewan, dan porses lainnya. Sebagai contoh, hampir di semua desa di Pipikoro dan Kulawi masih dikenal apa yang disebut dengan “Poraa Eo” atau acara ritual pembersihan desa/kampung dengan cara menyembelih hewan seperti sapi, kerbau atau babi sebagai korban “penebusan dosa”.
Tradisi adat dalam mengelola hutan masih dipertahankan kuat oleh warga desa Masewo. Membuka hutan pun tidak dilakukan sembarangan, wajib bagi mereka untuk melakukan ritual adat sesuai dengan kepercayaan leluhurnya. Memulai untuk mengolah tanah tidak serampangan. Ada syarat yang harus dilakukan sebelum mengolah tanah untuk di jadikan kebun. Petani yang akan membuka kebun diwajibkan untuk membawa membawa seekor ayam putih untuk disembelih dilokasi yang akan dibuka. Sebagai sesajen
Selain itu juga mereka tetap meminta kepada tokoh agama untuk mendoakan agar apa yang akan di kerjakan mendapat berkah dari yang kuasa. Mereka percaya bahwa tanah memiliki hubungan dengan manusia. Sehingga memperlakukan tanah tidak boleh seenaknya saja. Nanti akan ada hambatan jika ritual itu tidak dikerjakan dengan baik.
Ladang berotasi (gilir balik)
Untuk memenuhi kebutuhan pangan warga desa Masewo, berasal dari hasil pertanian dan kebun mereka sendiri. Hampir 90 persen masyarakatnya berprofesi sebagai petani. Sebagai petani sawah dan juga ladang, mereka menanam padi di sawah ataupun ladang pada wilayah yang sesuai dengan areal yang sesuai dengan peruntukannya, bukan daerah yang terlarang.
Umumnya gilir balik dilakukan dengan cara mendapatkan lahan baru untuk bertanam padi ladang, tidak harus dilakukan dengan membuka atau menebangi hutan di wilayah yang disebut Wana atau wanangkiki. Hanya pada awal siklus ladang berotasi pembukaan hutan dilakukan. Pada tahapan selanjutnya, ladang baru untuk menanam padi dan sayuran (palawija) didapatkan dengan “memakai ulang” atau menggilir balik lahan yang beberapa tahun sebelumnya sudah digunakan sebagai areal ladang.
Metode gilir balik ini menjadi kebiasaan masyarakat di Desa yang berpenduduk hanya 66 kepala keluarga ini, karena luasan hutan mereka tetap terjaga. Karena untuk membuka lahan baru jumlah luasannya sangat minim. Karena hanya memanfaatkan lahan yang sudah pernah dibuka sebagai lahan garapan yang lama.
Hasil dari padi ladang oleh masyarakat Masewo, tidak diperjualbelikan. Rata rata mereka menyimpannya di Pomporona atau lumbung padi dalam bentuk gabah. Biasanya disimpan sampai setahun. Ketika akan dikonsumsi barulah gabah itu digiling menjadi padi. Dulunya gabah itu masih di tumbuk secara manual dengan menggunakan lesung. Tapi seiring dengan perkembangan, saat ini sudah menggunakan mesin penggilingan padi dengan kapasitas yang kecil.
Semuel Bodja (53) mengungkapkan gabah hasil panen itu simpan di dalam wilulu atau tempat khusus yang terbuat dari kulit kayu nibun yang cukup kuat. Kulit kayu ini sangat kuat karena dapat menahan ratusan kilogram gabah. Wilulu inilah yang ditempatkan di dalam Pomporona (lumbung). Jika dibuat dengan baik dan dari kayu nibun yang kuat , Wilulu dapat bertahan hingga puluhan tahun.
“Gabah kami semuanya disimpan didalam lumbung, ketika diperlukan barulah gabah itu digiling menjadi beras untuk dimakan.” kata Semuel, Kepala Desa Masewo (5/7/23).
Selain padi ladang dan padi sawah, penghasilan dari masyarakat berasal dari hasil kebun seperti kopi, cengkeh dan kakao. Komoditas ini sebagai penunjang ekonomi bagi warga Masewo. Sebagian besar warga memiliki kebun yang ditanami tanaman jangka panjang sebagai penopang hidup keluarganya.
Umumnya ladang ditanami hanya satu kali dalam setahun, setelah itu lahan bekas ladang itu dibiarkan menghutan kembali untuk dalam kurun enam sampai 10 tahun kemudian kembali dijadikan ladang padi. Namun sebagian dari bekas areal ladang itu akan dijadikan Pokopia atau ditanami tanaman kopi atau dijadikan kebun kakao. Jadi pada praktiknya pola gilir balik itu dilakukan dengan merotasi enam sampai 10 areal lahan, tanpa harus melakukan perambahan hutan.
Sistem ladang berotasi di desa yang dulunya merupakan dusun dari Desa Banasu ini, juga menghasilkan komoditas bahan pangan seperti padi dan palawija serta sayur-sayuran organik secara alami. Semua tanaman pertanian yang ditanam terbebas dari bahan kimia baik itu pupuk, insektisida bahkan pestisida. Hasil pertanian disana semuanya merupakan produk organik. Pengetahuan ini sampai sekarang masih dipegang teguh oleh masyarakat desa Masewo.
Sebagai suatu pilihan sadar dan rasional dan kearifan tradisional masyarakat topo uma didatarn tinggi Pipikoro khususnya Masewo dalam mengelola sumber daya alamnya.
Kain kulit kayu yang semakin punah
Perempuan adat Masewo, seperti umumnya Topo Uma di dataran tinggi Kulawi memiliki keahlian untuk membuat kain dari kulit kayu. Produksi kain kulit kayu ini semakin kurang jumlahnya diproduksi oleh perempuan disana. Padahal kerajinan ini sangatlah memiliki nilai seni yang tinggi. Dulunya kain kulit kayu diproduksi oleh hampir semua rumah tangga disana. Namun karena proses penjualannya sulit, sehingga semakin berkurang orang yang membuatnya.
Mariam Odi (48) menceritakan, ibunya adalah salah satu pengrajin kain kulit kayu di desanya. Semua perempuan di keluarganya memiliki kemampuan untuk membuat kain dari kulit kayu. Aktivitas ini biasa dilakukan di sela sela waktu luang sepulang dari kebun atau sawah. Untuk menghasilkan kain kulit kayu dibutuhkan waktu hampir sebulan untuk ukuran 2 meter persegi.
Bahan untuk membuat kain ini diambil dari kulit pohon beringin dengan jenis tertentu. Kulit kayu beringin itu biasanya diambil saat waktu tertentu. Untuk hasil yang baik disarankan untuk mengambil kulit pohon beringin tidak pada saat pohon beringin sedang menggugurkan daunnya.
“Bahan kulit kayu ini sangat banyak ditemui didesa kami, ada banyak tumbuh di pinggir hutan.” kata Ibu beranak dua ini.
Sesungguhnya, Meriam masih ingin meneruskan kebiasaan orang tuanya, hanya saja untuk memasarkan hasil kerajinan ini mereka tidak memiliki modal untuk membawanya ke luar sana. Ia merasa sedih kalau pengetahuan yang dimiliki tidak diteruskan oleh anak temurunnya. Olehnya dia berharap agar ada dukungan dari pihak lain agar usaha mereka kembali bia dilanjutkan. Sebagai bagian dari langkah untuk menjaga warisan budaya dan kebiasaan para leluhurnya.
Mariam bahkan masih menyimpan dengan baik, Peralatan yang digunakan untuk membuat kain kulit kayu itu dirumahnya. Dia berharap Pohoma (alat pemukul tradisional) untuk membuat kain itu kembali dapat mereka gunakan lagi.(wan)