SIGI, beritapalu | Tak hanya keragaman seni dan keunikan budaya yang mengundang decak kagum, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah juga memiliki bentang alam yang luas dengan view menakjubkan. Barisan pegunungan Gawalise di sisi baratnya yang sekaligus menjadi pembatas dengan Kabupaten Donggala dan Provinsi Sulawesi Barat adalah anugerah Tuhan yang tak ternilai.
Di barisan pegunungan Gawalise itu, terdapat sebuah desa bernama Wayu yang secara administratif berada dalam wilayah Kecamatan Marawola Barat. Desa yang terletak sekitar 500 meter di atas permukaan laut (mdpl) dan berpopulasi sebanyak 389 jiwa itu menjadi “surga” olahraga aerosport, terutama paralayang.
Bagaimana tidak, sejauh mata memandang, view empat dimensi tersaji dengan apik dari ketinggian, mulai dari lembah, sungai, pegunungan, dan laut. Pantas saja jika federasi aerosport dunia melabeli kawasan ini sebagai salah satu spot terbaik dunia dalam olahraga yang membutuhkan nyali besar itu.
Menurut Ketua Federasi Aerosport Seluruh Indonesia (FASI) Sulawesi Tengah, Asgar, tak semata bentang alam yang indah itu yang menjadi penilaian bagi asosiasi aerosport dunia sehingga memvonisnya menjadi salah satu spot paralayang terbaik dunia, namun juga karena unsur-unsur yang menyertai olahraga itu turut ada di dalamnya.
Sebut saja salah satu unsur itu adalah thermal atau panas udara yang sangat mendukung penerbangan. Menurut Asgar, Desa Wayu adalah satu-satunya tempat di Indonesia bahkan di Asia yang memiliki spesifikasi termal yang bersesuaian dengan olahraga tersebut.
“Itu alasan mengapa federasi aerosport dunia menunjuk Desa Wayu ini sebagai salah satu tempat penyelenggaraan kejuaraan dunia pada 2016 lalu,” ungkap Asgar.
Bukan sekali saja, hingga kini sedikitnya telah tiga kali kejuaraan berskala internasional itu terselenggara di Desa Wayu itu, masing-masing pada 2016, 2018 dan terakhir pada 2020 lalu, tambah Asgar lagi. Itu belum termasuk kejuaraan-kejuaraan berskala nasional, regional, dan lokal.
Kebanggaan dan pujian pada kawasan ini tidak hanya dilontarkan oleh para pecinta olahraga paralayang setempat, bahkan atlet-atlet nasional pun mengungkapkan hal yang sama, apalagi para adventurer yang pernah menjejakkan kaki mereka di kawasan ini.
“Jika mengaku suka dengan olahraga paralayang, rasanya tak sah jika belum mencoba terbang dari Desa Wayu ini,” kata Crack Palinggi, salah seorang pehobi paralayang asal Jakarta ini dalam sebuah kesempatan Kejurnas, 2020 lalu.
Menyadari kekhasan Desa Wayu sebagai salah satu spot terbaik dalam olahraga paralayang dan kemudian mendapat pengakuan dunia, Pemerintah Kabupaten Sigi mulai melakukan penataan dan mengembangkannya menjadi kawasan wisata.
Oleh pemerintah setempat, Desa Wayu tidak semata dianggap sebagai tempat bagi para pecinta olahraga paralayang, tapi sekaligus obyek wisata dengan seluruh keunikan dan daya tarik yang dimilkinya.
Berbagai fasilitas di kawasan itu diadakan dan dibenahi mulai dari penyediaan sarana penginapan, penyediaan bersih, gazebo, rumah makan, dan beberapa pekan terakhir ini melakukan perbaikan jalan untuk memudahkan para pengunjung mengaksesnya.
Keberpihakan pemerintah itu disahuti oleh para pecinta paralayang di wilayah itu. Disadari, anugerah alam yang diberikan Tuhan tersebut tidak boleh disia-siakan, dan bahkan sebaliknya harus dimanfaatkan. Hingga kini, sedikitnya telah terbentuk tiga klub olahraga paralayang yang secara rutin melakukan pembinaan dan juga upaya regenerasi. Ketiga klub itu masing-masing Sigi Paralayang, Maleo Paralayang, dan Salena Paralayang.
“Buat apa kita punya spot terbaik tapi kita tidak punya atletnya,” kata Abdul Wahid, salah seorang atlet senior paralayang di klub Maleo Paralayang saat kegiatan Petualangan Paralayang dalam rangkaian Festival Lestari 5 di Desa Wayu, Kecamatan Marawola Barat, Kabupaten Sigi, Kamis (22/6/2023).
Alhamdulillah kata Wahid, pembinaan itu sudah berjalan dan bahkan dalam pengembangannya berusaha melibatkan warga sekitarnya. Setidaknya lima atlet paralayang dari Desa Wayu sendiri telah menorehkan prestasi dan mengharumkan daerah. Beberapa warga sekitar desa tersebut juga terlibat langsung dalam pengembangan olahraga tersebut, seperti Desa Balane, Porame, dan Padende.
Pelibatan warga setempat itu diapresiasi positif Ramon Y Tungka, artis sekaligus adventurer asal Jakarta. Ramon yang telah terbang di sejumlah tempat di Indonesia ini menilai, keberlangsungan kawasan wisata tak terkecuali paralayang, salah satunya banyak ditentukan oleh keterlibatan warga setempat.
“Kita harus bertanya, apa yang didapatkan warga sekitar dari adanya kawasan ini. Jangan sampai mereka hanya jadi penonton di daerahnya. Mereka harus ikut terberdaya,” ujar Ramo usai menjajal langit biru Desa Wayu dengan paralayang.
Ramon tidak membantah dan bahkan memuji keindahan alam dari ketinggian setelah terbang. Namun sekali lagi, dirinya berharap keindahan itu bersifat semu, dalam arti hanya dinikmati oleh para pecinta pralayang itu tanpa efek yang berarti warga sekitar.
“Menurut saya, menjadikan warga sekitar sebagai bagian dari olahraga ini sekaligus bagian dari kawasan wisata ini mutlak adanya. Keterlibatan warga sekitar akan menjadi barometer sepanjang atau sejauhmana keunikan kawasan ini bisa bertahan,” tandas Ramon.
Hal senada juga dikemukakan Didi Kaspi Kasim, Chief Editor National Geographic Indonesia yang juga menjajal view Kota Palu dari ketinggian dengan paralayang pada Petualangan Paralayang Lestari itu.
Bagi Didi Kaspi yang mengaku telah terbang untuk kedua kalinya, Desa Wayu dengan segala keunikannya sangat layak “jual”. Walau begitu, kelayakan jual itu tidak semata karena bentang alamnya yang indah. Lebih dari itu, mesti ada narasi khusus yang menyertainya.
“Kalau bicara bentang alam, Desa Wayu ini memang indah dan sangat spesifik. Tapi sespesifik apapun itu, di tempat lainnya juga mengunggulkan hal yang sama. Lalu apa yang membedakan dengan tempat lainnya? Inilah yang harus digali lebih banyak,” kata praktisi media ini.
Menurut Didi Kaspi yang telah mengunjungi banyak daerah dengan keunikannya masing-masing, mengembangkan kawasan olahraga include sebagai kawasan wisata memerlukan keterpaduan. Dalam kaitan tourism, orang tertarik ke Desa Wayu tidak semata karena ada pertunjukan paralayang, atau sekadar ingin menikmati view yang indah dari ketinggian dengan paralayang.
“Tapi lebih dari itu, mungkin karena ada cerita-cerita unik di luar paralayang itu sendiri, semisal ada cerita rakyat tentang bagaimana dulunya desa ini terbentuk, atau mungkin ada cerita tentang kopi, durian lokal, ritual, budaya atau tradisi yang terikat dengan kawasan ini,” sebutnya.
Sehingga menurut Didi, narasi tentang Desa Wayu lebih beragam dan berisi cerita-cerita yang semakin membuatnya lebih spesifik dan semakin menjadi “surga”, baik bagi atlet paralayang itu snediri, lebih-lebih bagi para pelancong.
Sementara itu promosi Desa Wayu itu sebagai kawasan wisata juga didukung penuh Pengurus Daerah Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo) Sulawesi Tengah. Ketua Astindo Sulteng, Budi Papeo bahkan menyebutkan jika pihaknya telah membuka rute perjalanan wisata menuju kawasan Desa Wayu sejak beberapa waktu terakhir.
“Paket wisata ke Desa Wayu telah kami buka sejak beberapa waktu lalu. Paket itu tidak sekadar mengajak tamu menyaksikan terbang layang, tetapi sekaligus menikmati kawasan sekitarnya sebagai daya tarik sendiri, karena di sini ada kopi dan durian yang khas,” ujar Budi.
Menurutnya, paket wisata itu juga fleksibel, tergantung minat dan permintaan traveller, termasuk paket terbang tandem.
Budi berharap, dengan penambahan fasilitas pelengkap wisata dan perbaikan jalan yang sudah mulai dilakukan, angka kunjungan wisata ke des aini akan menjadi lebih baik lagi. (afd)