Di sudut sebuah balai, Orin duduk sejenak, menyeka peluh yang mengucur di pelipis kanannya usai memikul barang belanjaan seorang ibu di Pasar Inpres Manonda, Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (22/1/2022). Ia merogoh kocek celana pendeknya yang kumal dan mengeluarkan seluruh isinya.
Enam lembar uang lima ribuan lusuh disusun satu sama lain, dilipat lalu dikantongi kembali. Hingga siang itu, Orin yang masih berusia 16 tahun dan tamatan SMP itu telah mengumpulkan sedikitnya Rp30 ribu dari tiga kali memikul barang belanjaan pengunjung pasar.
Balai-balai yang terletak tidak jauh dari los penjualan ikan dan daging ayam itu memang menjadi “pangkalan” anak-anak pekerja jasa pikul di pasar tradisional terbesar di Kota Palu itu. Siang itu, sekitar tujuh orang rekan sebayanya berkumpul usai menjajakan jasa pikulnya. Layaknya anak-anak jika bertemu, bermain, bercanda, bercerita tentang yang dialaminya baru saja.
Sesaat kemudian Orin berdiri dan lalu menyusuri lorong pasar yang remang-remang. Di lorong yang sedikit berarir karena guyuran air hujan semalam, ia bersama rekan sebayanya dan beberapa pedagang emperan duduk menghadap meja menikmati makanan siang berharga Rp5 ribu.
Orin sedang menikmati makan siangnya dalam riuhnya pasar. Namun tidak bagi Rene yang dua tahun lebih muda dari Orin. Rene masih sibuk memikul dua kantongan daging ayam yang baru saja di beli oleh seorang ibu di pasar itu.
Rene terus mengikuti pelanggan yang menyewa jasanya. Kemana pelanggannya pergi atau berbelanja, kesitu pula Rene harus mengekor. Tambahan belanjaan dari pelanggan, berarti tambahan pikulan pula bagi Rene.
Rene akhirnya tiba di teras pasar dimana kendaraan pelanggannya diparkir. Seluruh pikulan belanjaan diturunkan dan dinaikkan ke kendaraan pelanggan. Rene mendapat imbalan atas jasa pikulnya sebesar Rp10 ribu.
Tidak ada patokan besarnya imbalan yang diberikan kepada setiap anak penyedia jasa pikul belanjaan itu. Biasanya, aku Rene, rata-rata Rp10 ribu setiap pikulan. Namun kerap juga ada yang memberinya upah lebih.
Orin adalah anak petani miskin di bilangan Desa Doda. Sedangkan Rene masih bersekolah di sebuah SD di kaki gunung Gawalise. Orin tidak cukup kuatir lagi soal sekolah karena sudah menamatkan sekolahnya di tingkatan SMP. Ia hanya memendam keinginannya untuk lanjut ke tingkat SMA, walau terkendala biaya dan karenanya harus menjadi penyedia jasa pikul di pasar tersebut.
Tapi bagi Rene, waktu sekolah adalah bagian krusial yang harus disiasatinya agar tidak berbenturan dengan pekerjaan membantu ekonomi kedua orang tuanya dengan jasa pikul pula. Di saat pandemi COVID-19 begini, Rene mengaku cukup diuntungkan karena pembelajaran tatap muka yang membatasi waktunya lebih meleluasakannya memikul barang belanjaan di pasar.
Tidak kurang dari 50-an anak sebaya keduanya bekerja sejak pagi hingga menjelang petang di pasar tersebut. Sebagian besarnya mengaku beranjak dari rumahnya dengan alat angkutan ojek, begitu pula ketika pulang dengan kendaraan serupa.
“Sehari biasanya kami dapat sampai Rp70 ribu kalau hari biasa, tapi kalau mau lebaran biasanya sampai Rp200 ribu per hari,” aku Orin.
Bagi Orin dan Rene, penghasilan itu tidak dihabiskan sendiri. Sebagian besarnya atau rata-rata sebesar Rp50 ribu diberikan ke orang tuanya. Sisanya digunakan untuk keperluan makan dan lainnya selama bekerja seharian.
“Puas dengan hasil itu?” tanya beritaPALU.com.
“Harus puas, yang penting halal dan tidak mencuri,” kata Orin dengan tegas.
Baik Orin maupun Rene, adalah dua sosok anak yang bisa disebut mewakili pekerja anak di wilayah ini, terutama di kawasan pasar yang rumit dan juga riuh serta “keras”. Faktor ekonomi atau dalam frase lainnya; membantu memenuhi kebutuhan keluarga akan duit adalah alasan dominan.
Pekerja Anak di Palu
Sayang sekali, beritaPALU.com tidak memiliki catatan berapa jumlah anak di Kota Palu yang terlibat sebagai pekerja di berbagai sektor. Sejumlah Lembaga baik pemerintah maupun non pemerintah juga tidak menyediakannya. Entahlah, belum didata atau penelusuran data yang tidak paripurna.
Namun demikian, berbagai program untuk peningkatan kapasitas dan perlindungan bagi pekerja anak telah disuarakan dan dilakukan sejumlah lembaga, terutama yang memiliki visi tentang anak sebagai generasi penerus, generasi masa depan.
Pemerintah sendiri sudah, sedang, dan terus melakukan langkah-langkah untuk mempercepat terwujudnya peta jalan Indonesia bebas pekerja anak tahun 2022, antara lain dengan kegiatan Pengurangan Pekerja Anak dalam rangka mendukung Program Keluarga Harapan (PPA-PKH) dan Pencanangan Zona Bebas Pekerja Anak.
Tantangan Pandemi COVID-19
Pandemi COVID-19 disebut menjadi tantangan besar bagi berbagai pihak dan berdampak pada terjadinya gangguan perekonomian dalam skala besar dan krisis sosial-ekonomi, khususnya para pekerja.
Berbagai permasalahan yang timbul dari meluasnya pandemi COVID-19 mempengaruhi peningkatan kemiskinan rumah tangga secara signifikan. Tidak hanya itu, kemiskinan rumah tangga juga menjadi penyebab tingginya angka pekerja anak.
Salah satu penyebab atas meningkatnya pekerja anak juga karena kurangnya kesempatan dalam pendidikan yang akhirnya membuat anak-anak dipaksa bekerja untuk membantu keluarga untuk mendapatkan penghasilan.
Pekerja anak adalah juga masalah nasional yang membutuhkan tindakan segera dan berkelanjutan. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Indonesia memperkirakan sekitar 1,7 juta anak di Indonesia terlibat dalam pekerja anak. Diperkirakan 1,5 juta dari mereka berusia antara 10-17 tahun bekerja di sektor pertanian. (afd)