Indonesia bisa mengambil peran penting dalam ajang konferensi iklim COP26 di Glasgow, Skotlandia, untuk mengerem dampak krisis iklim. Perlu langkah-langkah konkret yang lebih ramah lingkungan untuk mengurangi emisi dalam pengelolaan hutan, sampah, energi, hingga perekonomian.
JAKARTA, beritapalu | Krisis Iklim di depan mata. Tahun lalu cuaca ekstrem dan pandemi COVID-19 menjadi hantaman ganda bagi jutaan warga berbagai benua. Menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), 2020 menjadi satu dari tiga tahun terhangat yang pernah tercatat meski La Nina yang dingin sedang berlangsung.
Lebih dari 30 juta orang menyingkir akibat peristiwa bencana yang dipicu cuaca buruk. Dan di Indonesia, sekitar 6,3 juta penduduk mengungsi karena terdampak bencana hidrometeorologi seperti hujan, banjir, atau tanah longsor.
Suhu rata-rata global tahun lalu 1,2 derajat Celsius lebih tinggi ketimbang era pra-industri (1850–1900). Padahal, sesuai target bersama, dunia ingin menghindar dari kenaikan temperatur hingga 1,5 derajat Celcius sembari membidik Net Zero Emission (NZE) pada 2060 demi mengurangi dampak perubahan iklim.
Dalam konteks ini, Indonesia berperan penting untuk ikut mengerem peningkatan suhu bumi. Sebagai negara dengan tutupan hutan tropis luas, Indonesia berpotensi menjadi negara adidaya yang bakal menentukan arah untuk menghadapi krisis iklim.
Misi sedemikian dapat dirintis pada 31 Oktober–12 November 2021 dalam acara UN Climate Change Conference of the Parties (COP26) ke-26 yang bakal digelar di Glasgow, Skotlandia. COP26, sebagai bagian dari Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), merupakan forum tingkat tinggi signifikan bagi 197 negara untuk membahas perubahan iklim global dan rencana menghindari Krisis Iklim. Presiden Joko Widodo dijadwalkan hadir di sana.
Namun, menyumbang peran dalam hal sebegitu besar bukan perkara mudah. Indonesia perlu berinovasi dalam pembangunan ekonomi untuk mencapai target dimaksud, kata Chenny Wongkar, peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL). Rencana pembangunan harus hijau, adil, dan seimbang. Tidak hanya memburu pertumbuhan, tapi pun mesti bertumpu pada kesejahteraan bersama serta kesadaran menjaga lingkungan.
“Pembangunan semacam ini harus mengedepankan jaminan bahwa kondisi lingkungan hidup tetap terjaga, menunjang kesejahteraan masyarakat, dan meningkatkan kapasitas dalam menghadapi krisis iklim,” kata Chenny.
Untuk menunjukkan capaian atas pembangunan semacam itu, terdapat sejumlah indikator yang dapat ditengok. Di antara yang bisa digarisbawahi adalah masyarakat memiliki udara bersih dan bebas dari pencemaran, pembangunan tidak mengeksploitasi sumber daya esensial dan merusak lingkungan, serta kebutuhan dasar seperti energi, pangan, kesehatan, dan sanitasi dapat terjamin pemenuhannya. Hemat Chenny, Indonesia perlu menghentikan model ekonomi ekstraktif yang berfokus pada keuntungan jangka pendek dan beralih pada ekonomi hijau dengan keuntungan jangka panjang.
Langkah yang bisa diambil adalah segera beralih dari sumber energi berbasis fosil—seperti batu bara dan turunannya—menuju energi terbarukan. Sebab, sektor energi harus menjadi fokus peningkatan ambisi kebijakan iklim Indonesia.
Menurut Deon Arinaldo, Program Manager Energy Transformation, Institute for Essential Services Reform (IESR), mengutip pedoman dalam implementasi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim 2050 (LTS-LCCR 2050/ Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilient Development), sektor energi pada 2030 diperkirakan menghasilkan emisi lebih dari 1.100 juta ton CO2e. Sementara, ketika itu Indonesia diharapkan telah menurunkan emisi agar dapat meraih NZE sebelum 2060. Di sisi lain, 91% transportasi domestik saat ini masih didominasi energi fosil.
Dampak praktik tersebut buruk bagi lingkungan, sosial, dan keuangan negara. Seperti kerusakan hutan, korban lubang tambang, dan besarnya impor BBM. Jika transisi energi hanya dilakukan pada sumber energi tak terbarukan seperti batu bara cair atau gas, peralihan menuju energi terbarukan sesungguhnya malah akan terhambat. “Indonesia perlu transisi secara menyeluruh dari sumber energi berbasis fosil ke energi bersih dan terbarukan,” kata Deon.
Satu hal bertaut dengan hal lain. Untuk mencapai target NZE, hutan diperlukan sebagai penyerap emisi. Sedangkan, industri energi berbasis fosil terbukti merusaknya. Dalam perang melawan krisis iklim, kunci kemenangan bisa diraih dengan melindungi dan memulihkan ekosistem alam, timpal Salma Zakiyah, dari Program Hutan dan Iklim, Yayasan Madani Berkelanjutan.
“Ekosistem gambut, hutan, mangrove, dan laut adalah penyerap karbon yang luar biasa dan vital dalam melindungi masyarakat dari dampak krisis iklim,” ujarnya.
Dalam empat tahun terakhir Indonesia mampu meredam laju deforestasi. Namun, belum semua bentang hutan alam dan ekosistem gambut tersisa Indonesia terlindungi. Artinya, sekitar 9,6 juta hektare hutan alam Indonesia dan 2,8 juta hektare ekosistem gambut masih terancam mengalami penggundulan.
Pemerintah juga harus merealisasikan target 12,7 juta hektare perhutanan sosial, agar masyarakat adat atau warga lokal bisa turut menjaga hutan. Selain itu, hutan-hutan yang telah rusak dan terbakar juga perlu direhabilitasi.
Target NZE alias nol emisi pun perlu didorong dari sektor sampah. Pengelolaan sampah seharusnya dilakukan secara menyeluruh sejak dari produksi hingga konsumsi. Menurut Yobel Novian Putra, Koordinator Aliansi Zero Waste Indonesia, selama ini ada kesalahan fokus pengelolaan sampah di Indonesia. Seyogianya, pengelolaan sampah harus difokuskan sejak dari hulu alias produsen dengan menegakkan Extended Producer Responsibility (EPR), yang mewajibkan produsen mengubah desain kemasan dari sekali pakai menjadi isi ulang. Semua kemasan yang diproduksi harus bisa didaur ulang, atau tidak menggunakan bahan berbahaya.
Di sisi hilir atau konsumen, sanksi tegas harus dijatuhkan bagi mereka yang tak memilah sampah. Konsumen juga perlu difasilitasi untuk mendaur ulang sampahnya. “Jika hanya fokus pada hilir, tak akan menyelesaikan masalah,” kata Yobel.
Pemerintah juga perlu menghapus teknologi pembakaran sampah (thermal incinerator ). Sebab, cara ini menghasilkan emisi gas rumah kaca dan abu yang serius. Langkah yang perlu ditempuh adalah memacu pengomposan sampah domestik. Dengan menerapkan metode tersebut, maka volume sampah bisa berkurang. Lahan uruk saniter (sanitary landfill) dan lahan uruk terkontrol (controlled landfill) juga perlu dioptimalkan untuk mengurangi pelepasan gas metana dari sampah. Saat ini, ada 514 TPA (tempat pembuangan akhir) sampah kota/kabupaten yang masih memberlakukan sistem terbuka (open dumping) dan diproyeksikan melepas gas metana 296 MT CO2e pada 2030.
Jika langkah-langkah di atas kurang mengena, maka pemerintah bisa mendorong skema pembiayaan yang merangsang ekonomi hijau. Brurce Mecca, analis Climate Policy Initiative (CPI), mengatakan banyak anggaran yang beralih ke sektor kesehatan dan pemulihan ekonomi selama pandemi COVID-19. Alhasil, anggaran iklim tidak menjadi prioritas.
“Tantangannya, jangan sampai pergeseran ini terjadi untuk jangka panjang. Anggaran jangka panjang tetap difokuskan untuk ekonomi hijau,” kata dia.
Pemerintah perlu membuat kebijakan yang menarik bagi investasi hijau. Misalnya dengan memberi insentif bagi investasi hijau dan disinsentif bagi investasi sektor kotor. Insentif ini bisa dilakukan bagi pemerintah daerah. Misal dengan mendorong Dana Alokasi Umum atau Dana Alokasi Khusus untuk penganggaran energi hijau. Dengan kebijakan ini, investasi hijau dari swasta dan luar negeri diharapkan dapat terbetot.
Komunitas Peduli Krisis Iklim ini meminta pemerintahan Joko Widodo untuk memastikan arah pembangunan ekonomi hijau yang inklusif, berkeadilan, berorientasi pada pertumbuhan kesejahteraan, dan responsif terhadap Krisis Iklim, melalui pemenuhan ambisi Net Zero Emission lebih cepat dari 2060 melalui peta jalan yang jelas dan terukur.
Selain itu, memastikan peralihan segera dari sumber energi berbasis fosil seperti batu bara dan turunannya menuju energi terbarukan, dengan kebijakan transisi energi yang inklusif, terdesentralisasi, terukur, dan berkeadilan.
Mereka juga berharap dapat memastikan penguatan upaya perlindungan ekosistem alam, termasuk menghentikan alih guna lahan yang tidak selaras dengan aspirasi Indonesia mencapai Net Zero Emission lebih cepat dari 2060.
Memastikan pengelolaan sampah yang menyeluruh, mulai dari pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan, dan memastikan Indonesia menjadi negara tujuan investasi hijau yang inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan, dengan memperbesar insentif aliran pendanaan hijau dan disinsentif pendanaan kotor. (afd/*)