BENCANA gempa bumi bermagnitudo 7,4 pada Skala Richter yang disusul dengan likuifaksi dan gelombang tsunami di Teluk Palu pada 28 September 2018 memporak-porandakan seisi Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sulawesi Tengah mencatat, tidak kurang dari 5.000 orang menjadi korban dan puluhan ribu unit rumah penduduk dan bangunan lainnya rata dengan tanah. Korban jiwa terbanyak berasal dari mereka yang bermukim di kawasan pesisir Teluk Palu.
Bukan kali itu saja Teluk Palu dilanda gempa dan tsunami. Gempa yang diikuti dengan gelombang tsunami juga pernah terjadi di Teluk Palu yang dibelah oleh sesar Palu-Koro pada 1 Desember 1927, 30 Januari 1930, 14 Agustus 1938, dan 1 Januari 1966 dengan kekuatan yang juga mematikan.
“Ada 50 warga saya yang hilang saat terjadi tsunami pada 28 September 2018 itu,” aku Syamsuddin, Ketua RT 01/RW 01 Pantai Dupa, Kelurahan Layana Indah, Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Sepanjang Pantai Dupa nyaris tak bersisa, kecuali serpihan sisa-sisa bangunan dan kayu-kayu yang berserakan disapu gelombang tsunami. BMKG mencatat, tinggi gelombang tsunami di wilayah itu mencapai 10 meter dengan limpasan air mencapai 375 meter ke darat.
Belajar dari pengalaman, sekelompok warga yang tergabung dalam Komunitas Mangrove Teluk Palu tergerak dan menginisiasi pembentengan daerah pesisir Teluk Palu dengan penanaman mangrove.
“Pantai Dupa adalah salah satu daerah pesisir yang terdampak cukup signifikan oleh tsunami. Letaknya menjorok ke darat dan berbatas langsung dengan pemukiman penduduk,” kata Ipank, Ketua Komunitas Mangrove Teluk Palu.
Menyadari bahwa konservasi mangrove tidak bisa dilaksanakan tanpa dukungan banyak pihak, maka komunitas ini pun mengampanyekan ajakan itu yang dimulai dengan penyadaran ke warga pesisir setempat.
Bak gayung bersambut, atas kesadaran akan ancaman bencana tsunami, warga setempat pun menyambut gagasan itu dengan antusias.
“Ini yang patut kita syukuri karena warga sekitar sangat antusias dalam upaya konservasi mangrove ini,” ujar Ipank lagi.
Tak itu saja, sejumlah pemerhati lingkungan baik perorangan maupun lembaga menyatakan dukungan positifnya. Sejumlah organisasi baik berorientasi profit maupun nirlaba bahkan terlibat langsung dalam rencana kegiatan rehabilitasi lingkungan itu.
Relawan Mangrove Tomini (Remot) selangkah lebih awal untuk memulainya. Komunitas ini bahkan menyediakan bibit mangrove jenis Rizopora yang dinilai sesuai dengan lingkungan Pantai Dupa yang berpasir dan sedikit berbatu.
Sejumlah komunitas pecinta lingkungan pun tak berdiam diri. Puluhan relawan muda ambil bagian dan berkontribusi untuk perbaikan lingkungan itu. Relawan itu tak hanya terlibat dalam penanaman, namun juga hingga ke perawatan mangrove yang telah ditanam.
10 Oktober 2019, ratusan warga berbaur dengan para relawan lainnya menanam mangrove di sepanjang bibir Pantai Dupa.
“Saat ini telah ditanam sekitar 10 ribu pohon yang mencakup satu hektare di sepanjang pantai. Jika bibit cukup tersedia, kami merencanakan akan memperluas cakupannya menjadi 10 hektare,” sebut Ipank lagi.
Pemerintah setempat melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) mengapresiasi inisiatif warga itu, terlebih dilakukan secara swadaya.
“Ini sangat sejalan dengan program kami di DLH dan tentu saja kami sangat mendukungnya,” ujar Kepala DLH Kota Palu Irmayanti Pettalolo.
Setelah hampir dua tahun sejak awal penanaman, kini mangrove itu terus bertumbuh dan menancapkan akarnya ke dasar pantai. Perawatan yang intens tetap dilakukan para relawan untuk memastikan tumbuh kembangnya.
Seorang warga membentangkan pukatnya tidak jauh dari barisan mangrove yang muncul ke permukaan air laut di pantai itu.
“Alhamdulillah, sejak ada mangrove, ikan-ikan mulai mendekat ke pantai,” aku Ramli, warga yang berdiam di pesisir pantai itu.
Komunitas Mangrove Teluk Palu dan begitu juga komunitas lainnya yang terlibat langsung dalam konservasi itu berharap, konservasi itu dapat berjalan sesuai yang diharapkan, melindungi dari terjangan gelombang tsunami, sekaligus menahan abrasi pantai yang mengalami penurunan permukaan pasca bencana lalu. ***
Naskah dan Foto: Basri Marzuki
(Proyek ini terselenggara atas kerjasama fellowship The Society of Indonesia Environmental Journalist (SIEJ) dengan majalah online ekuatorial.com)
Tautan video :