Membangun Mekanisme Pencegahan dan Penanganan Konflik Sosial di Sigi
SIGI, beritapalu | Sulawesi Tengah, termasuk Kabupaten Sigi, masih menghadapi berbagai tantangan sosial yang berpotensi memicu konflik di masyarakat. Persoalan batas wilayah, perebutan sumber daya alam, serta perbedaan sosial dan agama sering kali menjadi pemicu ketegangan antar komunitas.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat dalam mencegah dan meredam konflik, namun situasi seperti ini tetap terjadi karena adanya kesenjangan informasi, provokasi pihak tidak bertanggung jawab, serta ketidakadilan dalam pengelolaan sumber daya.
Jika tidak ada strategi pencegahan yang sistematis, konflik dapat semakin mengakar di komunitas desa dan berpotensi berkembang menjadi kekerasan berskala lebih besar. Oleh karena itu, pendekatan berbasis komunitas yang melibatkan pemuda dan perempuan sebagai bagian dari solusi sangat penting.
Mekanisme Pelaporan dan Pencegahan Konflik Sosial
Sebagai langkah konkret dalam menghadapi tantangan ini, Yayasan Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulteng (KPKP-ST) melaksanakan Women Gathering sejak Maret 2025, sebagai bagian dari program Wenexux: Perempuan Pembawa Damai dan Tangguh Bencana, bekerja sama dengan Yayasan Kerti Praja serta didukung oleh UNFPA, UNWOMEN, dan KOICA.
Program ini menyasar tiga desa di Kabupaten Sigi yakni Desa Bangga dan Desa Rogo (Kec. Dolo Selatan), dan Desa Kaleke (Kec. Dolo Barat)
Diskusi dan Edukasi: Mengenali Konflik Sosial
Pada 27 dan 30 April 2025, Women Gathering kembali diadakan dengan tema “Mendorong Mekanisme Pelaporan, Pencegahan, dan Penanganan Konflik Sosial di Kabupaten Sigi”.
Di Desa Bangga dan Desa Rogo, sesi edukasi diisi oleh Direktur Karsa Institute, Saiful Tamsil, yang menguraikan tujuh aspek penting dalam mengenali konflik sosial, termasuk:
📌 Definisi konflik sosial, yang mencakup perkelahian, peperangan, atau ketidaksepakatan tajam atas berbagai kepentingan dan ide.
📌 Sumber konflik, seperti konflik hubungan, konflik data, konflik struktural, konflik kepentingan, dan konflik nilai adat.
📌 Kategori konflik, baik horizontal (antar komunitas, etnis, agama, politik) maupun vertikal (konflik separatisme seperti Papua).
“Perbedaan dan sengketa tidak harus berkembang menjadi konflik. Mekanisme pencegahan yang efektif dapat membantu masyarakat menangani perbedaan secara damai,” jelas Saiful Tamsil.
Peran Hukum dalam Penanganan Konflik
Sesi berikutnya diisi oleh Sandy, SH, seorang pengacara sekaligus Koordinator Departemen Advokasi WALHI Sulawesi Tengah, yang membahas landasan hukum penanganan konflik, seperti: ✅ UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik, khususnya Pasal 2, 4, dan 5.
✅ PP Nomor 2 Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 7/2012, mengatur mekanisme pencegahan dan pemulihan konflik sosial.
“Pencegahan konflik harus melibatkan seluruh elemen masyarakat. Sinergi antara pemerintah, komunitas, dan aparat keamanan adalah kunci untuk menciptakan kondisi yang damai dan harmonis,” jelas Sandy, SH.
Perlindungan Perempuan dan Anak di Desa Kaleke
Di Desa Kaleke, mekanisme perlindungan terhadap perempuan dan anak telah berkembang dengan baik sejak dibentuknya Satuan Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak (Satgas PPA) Desa oleh Yayasan KPKP-ST pada tahun 2021.
Sejak 2022, Pemerintah Desa Kaleke secara konsisten mengalokasikan anggaran dana desa untuk mendukung program kerja Satgas PPA, yang mencakup penyuluhan, sosialisasi, edukasi, serta penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, baik melalui mediasi maupun proses hukum.
Sekretaris Desa Kaleke, Agung Cahyanto, S.Sos, mengingatkan masyarakat agar tidak ragu melaporkan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak kepada Satgas PPA Desa Kaleke, yang telah dilengkapi dengan:
✅ Poster panduan pelaporan kekerasan di berbagai titik desa.
✅ Spanduk di kantor desa yang menunjukkan alur layanan pelaporan Kasus KBG.
“Kami berharap kasus seperti ini tidak terjadi, tetapi jika terjadi, masyarakat sudah tahu harus bertindak dan mengambil langkah yang tepat,” ujar Sekdes Kaleke.
Strategi Rekonsiliasi untuk Perdamaian Sosial
Kegiatan Women Gathering di Desa Kaleke juga menghadirkan Dedi Askary, SH, dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Sulawesi Tengah, yang membahas Upaya Pencegahan Konflik Sosial dan Strategi Rekonsiliasi.
Ia menjelaskan bahwa konflik sosial adalah kondisi atau proses sosial yang melibatkan pertentangan atau perbedaan antar individu atau kelompok, yang jika tidak dikelola dengan baik, dapat menimbulkan dampak serius bagi masyarakat.
⚠️ Dampak negatif konflik sosial meliputi kerusakan hubungan sosial, ketidakstabilan masyarakat, kekerasan, kerugian materi, hingga korban jiwa.
Kelompok yang paling rentan dalam konflik sosial adalah: Perempuan dan anak-anak, Lansia dan ibu hamil, dan Kelompok disabilitas
Peran Pemuda dalam Kampanye Perdamaian
Dedi Askary menekankan bahwa pencegahan konflik dan rekonsiliasi harus dimulai dari tingkat desa, dengan kerja sama semua pihak di bawah kepemimpinan pemerintah desa.
“Generasi muda banyak terpapar pergaulan bebas, sehingga peran organisasi kepemudaan di desa sangatlah penting untuk menjadi pelopor dalam kampanye pencegahan konflik sosial dan perdamaian,” jelasnya.
Dengan adanya komitmen bersama dari pemerintah desa, komunitas, serta kelompok pemuda dan perempuan, Desa Kaleke menjadi contoh bagaimana strategi pencegahan konflik sosial bisa diterapkan dengan baik di tingkat lokal. (afd/*)