WALHI Sulteng Desak Menteri LHK Tarik Keputusan Proper bagi PT IMIP
PALU, beritapalu | Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Tengah mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) agar meninjau ulang dan menarik kembali Keputusannya bernomor 129 Tahun 2025 terkait Hasil Penilaian Peringkat Kinerja (Proper) Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 2023–2024.
Proper tersebut diberikan kepada PT. Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) yang dikenal sebagai kawasan industri pengolahan nikel hasil joint venture antara PT. Bintang Delapan Mineral (BDM), Shingshan Steel Group, dan Sulawesi Mineral Indonesia (SMI). WALHI menegaskan bahwa KLH harus lebih cermat, teliti, dan berbasis pada fakta dampak lingkungan di lapangan sebelum memberikan Proper pada perusahaan tambang dan kawasan industri nikel.
“Jangan asal menilai. Masifnya aktivitas pertambangan di Kabupaten Morowali dan Morowali Utara telah memperburuk kerusakan lingkungan, mencemari air sungai dan laut, meningkatkan risiko banjir, serta merusak kehidupan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan industri,” tegas Sunardi Katili, Direktur WALHI Sulawesi Tengah.
Krisis Pencemaran Air dan Risiko Kesehatan
Sejak 2023, program hilirisasi nikel semakin meningkatkan paparan kontaminasi kromium heksavalen (Cr6+), zat beracun dengan potensi memicu kanker dan gangguan kesehatan serius. Hasil uji kualitas air di 10 titik sungai yang berdekatan dengan kawasan industri menunjukkan pencemaran signifikan di Sungai Bahodopi dan Sungai Labota (jejak Cr6+ sebesar 0,075 mg/L), juga di Desa Onepute & Desa Dampala (terpapar Cr6+ sebesar 0,1 mg/L).
Paparan Cr6+ dapat menyebabkan gangguan pernapasan, infeksi bronkitis, iritasi kulit, dan penyakit serius seperti kanker paru-paru serta gangguan hati dan ginjal. Masyarakat di sekitar kawasan industri IMIP menghadapi risiko ini setiap hari, sementara pemerintah masih mengabaikan dampak kesehatan yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan.
Polusi Udara dari PLTU Batu Bara dan Ancaman ISPA
Selain pencemaran air, cerobong Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara milik IMIP juga berkontribusi pada pencemaran udara yang menyebabkan peningkatan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) bagi masyarakat sekitar.
Diperkirakan pada tahun 2027–2028, emisi batu bara dari PLTU di kawasan IMIP akan mencapai titik puncaknya, meningkatkan risiko kesehatan secara drastis. Debu batu bara yang beterbangan di Dusun Kurisa selama lima tahun terakhir telah merusak kualitas hidup warga, bahkan memaksa mereka untuk menutup sumber air bersih dengan kain agar tidak tercemar debu.
Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat umum, tetapi juga oleh anak-anak sekolah di SDN dan MTS Aljariyah yang hanya berjarak 100–200 meter dari cerobong PLTU. Tercatat 6 siswa mengalami batuk kronis dan sesak napas, akibat debu batu bara yang masuk ke ruang kelas dan kebisingan PLTU yang mengganggu proses belajar mengajar.
Kontribusi IMIP dalam Krisis Iklim
WALHI menyoroti penggunaan batu bara di PLTU IMIP sebesar 22.280.000 ton per hari, yang menghasilkan 4.676.015 ton CO2 per tahun, kontribusi besar terhadap pemanasan global dan krisis iklim.
“Ironisnya, saat pemerintah berusaha menekan kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 1,5°C, industri justru masih diizinkan menggunakan batu bara,” ujar Sunardi Katili.
Deforestasi besar-besaran akibat ekspansi industri nikel juga memperparah banjir di Morowali, dengan rekam jejak kejadian antara lain di 2020 ada 362 hektar sawah terendam di Bungku Utara, 2022 sekitar 500 KK terdampak banjir di Bahodopi, dan 2023 banjir merendam 7 desa di Morowali Utara
Sedimentasi akibat tambang nikel menyebabkan air laut di pesisir Morowali tertutup lumpur, menghancurkan ekosistem pesisir dan mengancam kehidupan nelayan yang dulu bergantung pada laut.
Sebelum IMIP beroperasi (2011–2012), nelayan di Dusun Kurisa, Desa Fatuvia masih bisa mendapatkan 5–6 kg ikan kerapu per hari. Kini, mereka harus menempuh 3–4 jam perjalanan, bahkan sering pulang tanpa hasil. Spot pemancingan semakin jauh, laut semakin keruh, dan ikan mulai sulit ditemukan akibat limbah batu bara dan naiknya suhu air laut.
“Dulu perempuan bisa mencari kerang meti untuk konsumsi dan dijual, kini mereka menjadi pemulung sampah plastik untuk bertahan hidup,” ungkap seorang warga. Kehidupan nelayan berubah drastis, banyak yang beralih profesi menjadi ojek laut bagi pekerja IMIP.
WALHI Sulawesi Tengah menuntut Menteri LHK untuk mencabut Proper bagi PT. IMIP dan segera melakukan audit lingkungan yang transparan terhadap industri pengolahan nikel. Tanpa langkah serius, dampak ekologis dan sosial dari ekspansi tambang nikel akan semakin tak terkendali, merugikan masyarakat, lingkungan, dan masa depan Indonesia. (afd/*