SETELAH bagian pertama dari tulisan ini saya tekan tombol enternya saat kemarin, bermunculan tanggapan dan opini atasnya.
Hampir seluruh dari tanggapan maupun opini itu secara substansi bekonten “bonahe”.
Pada salah satu grup wa, dimana tulisan bagian pertama ini dimuat, sy bilang bahwa mengamati opini opini yang berkualitas, membuat janji saya yang akan membuat tulisan bagian keduanya secara gradual menjadi hampir tidak dibutuhkan lagi.
Tetapi koq tetap melanjutkannya?.
Menjawab pertanyaan di atas, saya teringat ungkapan montesquieu dalam karyanya “the sipirit of laws”. Dia bilang begini, karya saya ini, sungguh tidak berarti apa-apa jika dibanding dengan karya Aristoteles, plato, maupun socrates, tapi ibarat profesi seorang tukang cat yang harus mengerjakan tugas pengecatan, adakah yang tega untuk mencegahnya?.
Nah, kembali ke soal amicus curiae dipersimpangan kepentingan.
Sebenarnya satu hal saja yang ingin sampaikan berkait dengan dua pertanyaan dalam tulisan bagian pertama, yakni bahwa AC dalam perjalanannya telah dipahami dan diperlaku-praktikkan dengan cara yang sangat ceroboh, karena ambisi dan kepentingan.
Begini, beberapa hari lalu seorang kawan nge-posting list yg menghendaki dan mengajak untuk mencantumkan nama pada list itu agar menjadi bagian (“seolah-olah”) dari tim yang menyusun AC.
List itu telah mencantumkan puluhan nama-nama yang memiliki gelar berjejer, lengkap disertai tanda tangan.
Bagi saya out put dari proses penyusunan dokumen seperti ini tidak tepat disebut sebagai AC, ini hanya lebih tepat disebut sebagai petisi. Atau jika kualitas narasinya agak lebih soft, hal itu lebih sering kita kenal sebagai rekomendasi.
AC bukanlah petisi, pun bukan rekomendasi yang dihasilkan dari forum semisal seminar, munas, simposium dll.
Oleh karena AC berbeda dengan petisi, maka kehadirannya di forum peradilan tidak tepat pula dituding sebagai dokumen yang akan mengintervensi dan mendikte independensi hakim dalam memeriksa perkara.
Lanjut, demikian pula terhadap langkah ibu Megawati berselancar di papan luncur AC.
Bagi saya ini agak mengganggu (untuk tidak menyebutkan mengacaukan eksistensi dan tatanan AC) sehingga bikin bingung masyarakat.
Tegasnya, dokumen yang diserahkan Ibu Megawati seharusnya tidak tepat disebut sebagai dokumen AC, mengapa? Karena AC disusun oleh individu/kelompok yg kedudukannya bukan sebagai pihak dalam perkara yang pemeriksaannya tengah berlangsung.
Adalah mungkin benar, bahwa pihak yang bersengketa di MK adalah paslon presiden dan wakil presiden dengan KPU, bukan Ibu Megawati, sehingga tidak ada halangan bagi Ibu megawati untuk ber AC.
Ingat!!!, pokok aduan yang diajukan oleh paslon ke MK mengusung dan mendorong spirit hukum substantif, bahkan moral- etika.
Dengan demikian, jika konsisten dengan spirit seperti itu, maka cara pandang terhadap manuver papan luncur AC Ibu Megawati tidak cukup menggunakan argumentasi “ada atau tidak adanya larangan” untuk ber AC.
Ada satu fakta yang tidak terbantahkan bahwa salah satu paslon yang berkedudukan sebagai pihak berperkara di MK adalah paslon dari partai yang diusung oleh partai yang dipimpin oleh Ibu Megawati. Frekwensi keterhubungan ini hanya dapat dipindai oleh moral dan etik nan agung. Bukan oleh hukum.
Inilah argumentasi utama saya untuk mengatakan bahwa dokumen yg diserahkan oleh Ibu Megawati tidak tepat disebut sebagai dokumen AC.
Padahal, poin-point dalam dokumen AC itu, dintegrasikan saja ke dalam simpulan akhir dari tim hukum kubu paslon yang diusung oleh partai Ibu Megawati.
Oleh karena itu, tetkait dengan realitas sebagaimana yang digambarkan di atas, maka banyak benarnya pandangan yang dikemukakan oleh tuan Oto Hasibuan, “bahwa AC bertujuan untuk membantu hakim dalam memeriksa suatu perkara, bukan dokumen untuk membantu para pihak.”
Sayang berjuta-juta sayang, tuan Oto Hasibuan menjadi sangat ceroboh dan berlebihan dengan pandangannya yang berkualitas dan bertenaga itu.
Tanpa sadar bahwa tuan Oto Hasibuan mengeneraliasi pihak yang ber AC, sehingga para akademisi yang berkhidmat menyusun AC ditudingnya tengah membantu para pihak (terkhusus terhadap pemohon/paslon presiden dan wakil presiden), lebih jauh bahkan menempatkan para akademisi itu laksana partai pengusung paslon maupun kelompok masyarakat lain yang terafiliasi dengan para paslon, tanpa dapat lagi membedakannya secara jernih.
Tuan Oto Hasibuan larut dalam kepentingannya sebagai pihak dalam perkara yang tengah berlangsung, di saat dia beropini terhadap sesuatu (AC) yang mensyaratkan seseorang harus bukan sebagai pihak atas suatu perkara yang diperiksa. Opini yang berkualitas dari tuan Oto menjadi kehilangan tenaga karenanya.
Perkara di MK sedang kita tunggu vonisnya hari ini.
Kata seorang kawan: Semoga vonis MK berparas Amicus Curiae, dan bukan berparas Amicus Kura-Eya.
Seorang kawan bertanya padaku, mengapa saya tidak buat dan bergabung menyusun dokumen AC?.
Saya jawab, biarlah saya menjadi “AMICUS TEOS” saja, selalu berdoa agar para Hakim Konsitusi diberi kekuatan dalam menjalankan tugasnya.
*) Penulis adalah Dosen Fakutlas Hukum Universitas tadulako