Persembahyangan Hari Kuningan di Palu

Pukul 07.00 Wita, umat Hindu dari berbagai penjuru Kota Palu memadati Pura Agung Wanakertha Jagatnatha yang terletak di Bukit Jabal Nur, Mantikulore, Kota Palu. Mereka akan melaksanakan ritual persembahyangan Hari Kuningan yang digelar setiap 210 hari sekali atau 10 hari setelah Hari Raya Galungan.
Hari Raya Kuningan memiliki makna spiritual yang mendalam bagi umat Hindu. Perayaan ini jatuh 10 hari setelah Hari Raya Galungan dan menjadi momen penting untuk menghormati leluhur, merenungkan kemenangan Dharma atas Adharma, serta memohon keselamatan dan kemakmuran.
Hari Raya Kuningan bermakna sebagai penghormatan kepada Leluhur dan Dewa. Kuningan menandai berakhirnya kunjungan para leluhur dan Dewa ke dunia setelah perayaan Galungan. Upacara dilakukan hingga tengah hari, sebagai simbol perpisahan sebelum mereka kembali ke alam spiritual. Kuningan juga menjadi refleksi dan introspeksi diri
Umat Hindu diharapkan merenungkan kehidupan mereka, apakah telah menjalani hidup sesuai ajaran Dharma. Periode antara Galungan dan Kuningan menjadi waktu untuk mengendalikan sifat negatif dan meningkatkan kualitas hidup secara spiritual.
Ia juga menjadi simbol keseimbangan kosmis. Kuningan merepresentasikan hubungan harmonis antara manusia, leluhur, dan Tuhan. Warna kuning dalam sesajen melambangkan kemuliaan, kesejahteraan, dan kebijaksanaan.
Ungkapan rasa syukur atas berkat dan perlindungan yang diberikan selama periode Galungan. Doa dan persembahan ditujukan untuk memohon keselamatan, kemakmuran, dan tuntunan lahir batin.
Tradisi dan Ritual Hari Raya Kuningan dilakukan dengan persembahyangan di pura dan rumah hingga tengah hari. Sesajen khas seperti nasi kuning, tamyang, dan endongan, sebagai lambang perlindungan dan kemakmuran.
Upacara Penyineban, sehari setelah Kuningan, sebagai simbol kembalinya para Dewa dan leluhur ke alamnya.
Hari Raya Kuningan bukan hanya sekadar ritual, tetapi juga waktu untuk memperbaiki diri dan meningkatkan kesadaran spiritual. (*bmz)