Karamha Sebut Masyarakat Adat di Sulteng Hadapi Ancaman Serius
PALU, beritapalu | Di tengah dinamika pembangunan dan eksploitasi sumber daya alam, keberadaan masyarakat hukum adat di Provinsi Sulawesi Tengah menghadapi ancaman serius. Demikian Koalisi Advokasi untuk Rekognisi Hak Masyarakat Hukum Adat (Karamha) menilainya.
Penilaian itu disampaikan pada Konferensi Pers yang digelar Karamha melalui DInasmisatornya, Joisman Tanduru dan Direktur Yayasan Merah Putih (YMP), Amran Tambaru di Hotel Jazz, Palu, Senin (24/3/2025).
Ia mengatakan, meski telah ada berbagai regulasi yang mengakui hak-hak masyarakat hukum adat, namun kenyataan di lapangan menunjukkan masih banyak komunitas adat yang belum mendapatkan perlindungan dan pengakuan hukum yang memadai.
“Kondisi ini mendesak untuk segera ditangani dengan kebijakan perlindungan yang lebih konkret dari pemerintah provinsi, guna mencegah semakin meluasnya pelanggaran hak dan ketimpangan yang dialami masyarakat adat,” kata Joisman.
Kerangka Hukum Nasional dan Daerah
Dalam konteks nasional, pengakuan masyarakat hukum adat menurutnya sudah dijamin melalui sejumlah undang-undang, termasuk dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat.”
Begitu pula Pasal 28I ayat (3) menegaskan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional harus dihormati sesuai perkembangan zaman dan peradaban.
Pada tingkat daerah, dalam cataannya beberapa kabupaten di Sulawesi Tengah juga telah menginisiasi peraturan daerah (Perda) yang mengatur tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, seperti: Perda Kabupaten Morowali No. 13 Tahun 2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Suku Wana; Perda Kabupaten Sigi No. 15 Tahun 2014 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Sigi; dan Perda Kabupaten Tojo Una-Una No. 11 Tahun 2017 tentang Pengukuhan Masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana.
“Namun Perda ini hanya berlaku di kabupaten tertentu, dan belum mencakup keseluruhan masyarakat adat di Provinsi Sulawesi Tengah. Selain itu, keberadaan masyarakat adat yang wilayah adatnya lintas administrasi kabupaten/kota memperkuat urgensi adanya regulasi di tingkat provinsi,” jelasnya.
Data dan Realitas
Hingga tahun 2023, terdapat 89 komunitas masyarakat adat yang tersebar di Sulawesi Tengah yang tercatat sementara oleh Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA ). Dari jumlah tersebut, 96% komunitas masyarakat adat belum memiliki perlindungan hukum yang memadai dalam bentuk Perda, Peraturan Bupati, ataupun Keputusan Bupati.
“Ini menunjukkan bahwa mayoritas komunitas adat di Sulawesi Tengah masih berada dalam situasi yang rentan, tanpa payung hukum yang jelas untuk melindungi hak-hak tradisional mereka, terutama terkait hak atas tanah dan sumber daya alam,” imbunnya.
Menurutnya, tanpa regulasi yang kuat, masyarakat adat tidak hanya kehilangan hak-hak atas tanah adat mereka, tetapi juga menghadapi risiko kriminalisasi dan penggusuran. Beberapa kasus menunjukkan adanya kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang memperjuangkan tanah leluhurnya, serta eksploitasi sumber daya alam oleh korporasi besar yang bekerja sama dengan pemerintah tanpa mempertimbangkan keberadaan dan hak masyarakat adat.
Masalah Utama
Karamha mengidentifikasi sejumlah amsalah utama yang dihadapi masyarakat adat antara lain: Belum Meratanya Pemahaman dan Keberpihakan Pemerintah Kabupaten/ Kota Tidak semua kabupaten/kota di Sulawesi Tengah memiliki pemahaman yang sama terhadap pentingnya pengakuan masyarakat hukum adat. Beberapa daerah masih kurang berpihak pada masyarakat adat dalam hal penyusunan kebijakan yang mendukung hak-hak adat, sehingga terdapat ketimpangan dalam pelaksanaan perlindungan masyarakat adat di berbagai wilayah.
Selain itu, masyarakat adat di Sulawesi Tengah, seperti Tau Taa Wana dan Topo Unde di Wilayah Adat Nggolo yang melintasi batas administratif beberapa kabupaten/kota. Ketidaksesuaian ini menimbulkan hambatan dalam upaya perlindungan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat, karena regulasi di satu kabupaten tidak dapat mengakomodasi kebutuhan hukum komunitas adat di wilayah yang berbeda.
Juga soal Kepastian Hak Atas Tanah dan Kekayaan Alam. Pengakuan terhadap tanah adat dan kekayaan alam, termasuk hutan adat, belum mendapatkan kepastian hukum yang memadai. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 sudah mengakui bahwa hutan adat adalah milik masyarakat adat, namun implementasi di daerah sering kali terganjal oleh regulasi yang tumpang tindih dan kurangnya kebijakan yang berpihak pada masyarakat adat.
Atas realitas tersebut, Karamha menyatakan sikap bahwa Ranperda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (PPMHA) yang telah dimasukkan dalam Program Pembentukan Peraturan Daerah (PROPEMPERDA) Tahun 2025, segera diprioritaskan pembahasannya oleh DPRD Provinsi Sulawesi Tengah.
Karamha juga meminta agar proses pembahasan Raperda PPMHA tersebut baik ditingkat Panitia Khusus atau Paripurna, sejatinya melibatkan para penyandang hak (Rightholder’s) dan para pihak yang bekepentingan (Stakeholder’s) dengan prinsip keterbukaan dan partispasi yang bermakna. (afd/*)