PILKADA Gubernur/Wakil Gubernur Sulawesi Tengah akan digelar pada 27 November 2024. Andai saya bisa meramal, saya bisa menebak siapa yang pada akhirnya mendapat tiket resmi dari partai atau koalisi partai dalam pemilihan Gubernur Sulawesi Tengah dan Wakil Gubernur Sulawesi Tengah itu.
Seperti biasa, terutama dalam tradisi politik lokal pasca reformasi, penentuan calon gubernur dan wakilnya masih diwarnai tarik ulur ditingkat elite partai. Siapakah yang potensial menjadi calon-calon kompetitif dalam pertarungan itu nanti? Meski pintu pendaftaran sudah dibuka KPU Sulawesi Tengah, tapi berdasar opini publik yang berkembang saat ini serta deklarasi yang telah dilakukan, Paslon Ahmad Ali/Abdul Karim Aljufri dan Paslon Anwar Hafid/Reny Lamadjido serta Rusdy Mastura/Sulaiman Agusto Hambuako diperkirakan akan mengisi bursa kandidasi pada Pilkada tersebut.
Mereka adalah putera-puteri terbaik Daerah Sulawesi Tengah. Dari segi identitas, meskipun mereka menganut agama yang sama, Islam, namun mereka datang dari latar belakang etnis yang berbeda. Sebut saja misalnya Rusdy Mastura, petahana Gubernur Sulawesi Tengah yang akrab disapa Bung Cudy ini adalah putra Etnis Kaili sementara pasangannya Sulaiman Agusto Hambuako, mantan Pangdam Tanjungpura ini adalah putra Morowali Utara.
Figur berikut adalah paslon Ahmad Ali dan Abdul Karim Aljufri. Ahmad Ali sendiri yang saat ini selain sebagai Wakil Ketua Umum DPP Partai Nasdem juga anggota DPR RI ini adalah putera Morowali sedangkan pasangannya disamping sebagai anggota DPRD Sulawesi Tengah juga sebagai Sekretaris Partai Gerindra Sulawesi Tengah ini adalah figur muda Kota Palu.
Kemudian Anwar Hafid dan Reny Lamadjido. Anwar Hafid sendiri adalah mantan Bupati Morowali yang saat ini juga anggota DPR RI dari Partai Demokrat ini adalah putera Morowali, sementara pasangannya adalah Puteri Etnis Kaili yang kini menjabat Wakil Walikota Palu.
Politik Identitas di Indonesia
Ada persepsi sejumlah ahli bahwa politik identitas yang berbasis primordial berperan penting dalam menentukan hasil akhir pilkada di daerah. Jika politik identitas berbasis agama dan etnis menjadi prediktor utama, bagaimana kah kita menjelaskan tingkah laku pemilih, mengingat politik identitas di daerah bukan hanya dipicu oleh kesamaan agama tetapi bisa juga karena kesamaan etnis?
Indonesia adalah negara yang majemuk bila dilihat dari aspek suku dan agama. Namun dari studi yang selama ini dilakukan menunjukkan minimnya faktor kesukuan dalam menjelaskan politik elektoral (Aspinal, 2011).
Kemudian dalam konteks nasional, para ahli sepakat bahwa efek etnis kecil dalam menjelaskan hasil pemilu legislatif dan pemilu presiden (Liddle dan Mujani, 2010). Efek agama juga sangat minim (Mujani, 2011). Meskipun politik identitas bukan faktor yang relevan secara nasional, efek politik primordial di tingkat lokal masih sedikit yang kita ketahui (Burhanuddin Muhtadi, 2019).
Itu menunjukkan bahwa realitas politik identitas di semua daerah masih memerlukan kajian yang mendalam. Untuk konteks Sulawesi Tengah, meskipun penelitian tentang hal itu belum dilakukan, namun untuk keperluan analisis maka penting bila kita memahami peta perjalanan pilkada sejak dari 1981, ketika Putera Daerah Sulawesi Tengah terpilih menjadi gubernur.
Gubernur Putra Daerah
Keterpilihan putra daerah pertama menjadi Gubernur Kepala Daerah Sulawesi Tengah pada 1981 dilaksanakan melalui pemilihan di DPRD Provinsi Sulawesi Tengah. Sistem Pilkada langsung baru terlaksana di Sulawesi Tengah pada 2006. Putera daerah pertama adalah Galib Lasahido. Pada 1986, tokoh karismatik Tojo Unauna ini yang juga mantan Bupati Poso serta Sekwilda (baca : Sekdaprov) Sulawesi Tengah ini digantikan oleh Azis Lamadjido, seorang putra Etnis Kaili.
Selama sepuluh tahun, mantan Bupati Donggala dan Jaksa Tinggi Sulawesi Tengah yang ramah tapi tegas ini memimpin Provinsi Sulawesi Tengah. Pada 1996, HB. Paliudju terpilih menjadi gubernur. Lima tahun kemudian, tepatnya 2001, tokoh Etnis Kaili yang juga perwira tinggi militer itu digantikan oleh seorang akademisi yaitu Aminuddin Ponulele dengan wakilnya Rully Lamadjido, mantan Walikota Palu, yang keduanya berasal dari Etnis Kaili.
Pada 2006, melalui sistem pilkada langsung, HB. Paliudju,mantan Bupati Donggala itu terpilih kembali bersama pasangannya, Ahmad Yahya seorang figur muda ttnis Bugis dengan perolehan dukungan suara 411.113 (36%). Untuk diketahui, HB. Paliudju ini adalah satu-satunya Gubernur Sulawesi Tengah yang terpilih pada dua sistem pilkada yang berbeda.
Pada Pilkada Sulawesi Tengah 2011, Longki Djanggola bersama pasangannya Sudarto, terpilih menjadi Gubernur/Wakil Gubernur Sulawesi Tengah dengan dukungan pemilih 694.299 (54,43%). Pada 2015, Longki Djanggola dan Sudarto sebagai petahana, mantan Bupati Parigi Moutong yang juga putra bangsawan Tana Kaili beserta pasangannya mantan Bupati Banggai, tokoh etnis Jawa yang juga perwira militer itu terpilih kembali menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tengah dengan dukungan suara pemilih 742.711 (55,5%).
Di Pilkada Sulawesi Tengah 2020, Tokoh populis etnis Kaili yang juga mantan Walikota Palu, Rusdy Mastura dengan pasangannya, Ma’mun Amir, mantan Bupati dan Putera Bangsawan Banggai memenangkan perhelatan itu dengan suara pemilih 891.334 (59,61%) mengalahkan Hidayat Lamakarate tokoh muda etnis Kaili yang juga mantan Sekdaprov Sulawesi Tengah serta wakilnya Bartholomeus Tandigala seorang pitra Tana Poso dan juga mantan birokrat.
Untuk diketahui, pada dua Pilkada Sulawesi Tengah terakhir bursa persaingan politik pemilihan gubernur hanya diisi oleh dua pasangan kandidat yang didominasi dari etnis Kaili. Fenomena politik ini sudah berlangsung sejak pilkada langsung 2006.
Dari gambaran tersebut menunjukkan bahwa ternyata kepemimpinan di Sulawesi Tengah semenjak terpilihnya putra daerah sebagai gubernur yang telah berlangsung dalam kurun waktu empat puluh tiga tahun terakhir ini dan sejak 1986 didominasi oleh figur etnis Kaili.
Terlepas dari berbagai faktor yang menyertainya, harus diakui bahwa tokoh-tokoh yang menjadi figur dari etnis Kaili saat ini memiliki sumber daya yang relatif memadai sehingga mampu bersaing pada kontestasi politik elektoral itu. Meskipun demikian ada sejumlah pihak berpendapat bahwa realitas politik ditingkat lokal Sulawesi Tengah bukan hanya diwarnai oleh politik uang tapi juga sangat didominasi oleh politik identitas etnis.
Hal ini dibuktikan terutama ketika sistem pilkada langsung mulai digelar di Sulawesi Tengah pada 2006. Dari daftar kandidasi misalnya, terlihat figur etnis Kaili selalu menempati posisi gubernur. Posisi wakil gubernur pada umumnya ditempati oleh etnis non Kaili. Dominasi itu semakin jelas dalam dua perhelatan Pilkada terakhir pada 2015 dan 2020 yang pertarungan politiknya hanya diikuti oleh dua pasangan kandidat.
Dari realitas itu, ada sejumlah pertanyaan yang masih menggelayuti benak publik Sulawesi Tengah, apakah dominasi tersebut merupakan bagian dari “akrobat politik” ataukah memang karena memiliki kapasitas “sumber daya” yang mumpuni? Kemudian dominasi kemenangan yang diraih, apakah karena masih kuatnya sentimen primordial ataukah ini sebagai bentuk lain dari soliditas politik kesukuan yang mengarah pada ambisi superioritas etnis untuk menguasai panggung politik lokal sekaligus pemerintahan daerah provinsi?
Kalau memang itu benar, maka hal tersebut jelas akan merusak masa depan tatanan kehidupan berdemokrasi kita di Sulawesi Tengah. Menurut saya, ditengah arus besar demokrasi saat ini, publik Sulawesi Tengah harus segera “menyesuaikan diri” dengan perkembangan itu bila tidak maka publik Sulawesi Tengah akan selalu terjebak dengan soal kerawanan yang dapat mengganggu proses pelaksanaan pilkada.
Bentuk kerawanan itu berupa politisasi SARA, politik uang, netralitas Aparatur Negara, penyalahgunaan kewenangan oleh calon dari unsur petahana serta pengamanan yang efektif terhadap intimidasi, ancaman, dan kekerasan. Dalam konteks kerawanan itu, Sulawesi Tengah merupakan salah satu dari lima provinsi di Indonesia yang dirilis Bawaslu RI pada 26 Agustus 2024 dan dikategorikan “rawan tinggi” pada pemetaan kerawanan pilkada serentak di Indonesia 2024.
Dinamika Politik Jelang Pilkada
Sejurus dengan bentuk kerawanan seperti yang ditunjukkan oleh Bawaslu RI tersebut, ada fenomena politik lain yang terjadi di Sulawesi Tengah sebagai bagian dari dinamika politik nasional yang menarik untuk dicermati, yaitu upaya mencari dukungan partai dalam mendapatkan tiket untuk “berlayar” menjadi kandidat.
Terlihat dalam realitas, nampaknya petahana gubernur “tenang-tenang saja” dalam mencari dukungan partai ditengah proses hiruk-pikuk calon penantang lain dalam melakukan “hegemoni kapital” untuk membeli koalisi partai. Dalam konteks tersebut, publik Sulawesi Tengah berasumsi bahwa petahana yang Etnis Kaili itu terkesan hendak dipinggirkan dari pentas kontestasi pilkada. Seolah-olah pasangan calon kandidat lain “takut” bersaing akibatnya petahana terhalang ambang batas koalisi partai sebagai sarat pencalonan.
Dari fakta itu, dibenak kalangan ramai Sulawesi Tengah masih terus diliputi oleh teka-teki apakah memang benar petahana terhenti langkahnya untuk meramaikan bursa politik Pilkada Sulawesi Tengah. Yang mengejutkan, seminggu menjelang dibukanya pendaftaran calon kepala daerah di KPU, ternyata Allah berkata lain. Dengan hadirnya “mukjizat” putusan MK no. 60 tentang pengurangan sarat ambang batas pencalonan, maka buyarlah semua niat dan rencana itu dan pada akhirnya sang petahana tetap eksis dan kemudian melenggang menuju pendaftaran di KPU.
Itulah secerca realitas politik menjelang pilkada di Sulawesi Tengah yang pergumulan politiknya masih diwarnai fragmentasi dominasi etnis, banalisasi serta kapitalisasi politik oleh elite politik ditengah masih minimnya sumber daya manusia publik Sulawesi Tengah dalam merespon substansi demokrasi.
Politik Identitas di Daerah
Mengacu pada sebuah penelitian bahwa ternyata politik identitas sudah lama terjadi ditingkat lokal, jauh sebelum kasus Pilkada Jakarta 2017. Dalam konteks itu, bukti empiris menunjukkan bahwa agama dan etnis sering menjadi bahan bakar politik identitas yang merupakan faktor yang penting dalam pemilihan kepala daerah.
Itu terjadi ketika perbedaan agama tidak bisa dieksploitasi, perbedaan etnis bisa dimobilisasi untuk mendapatkan keuntungan elektoral. Dengan begitu, efek agama dan etnis bersifat dinamis, tergantung konteks sosial-politik dan kondisi persaingan serta latar belakang primordial paslon. Dengan kata lain bahwa politik identitas bekerja terutama ketika komposisi etnis dan agama suatu wilayah tidak terlalu timpang dan tergantung identitas primordial para paslon yang bertarung.
Calon yang berasal dari kelompok agama dan suku yang mayoritas punya modal yang lebih baik dalam berkompetisi dibanding calon yang berasal dari kelompok minoritas. Dari penelitian Burhanuddin Muhtadi bisa dijelaskan mengapa Ahok kalah di Pilkada Jakarta pada 2017, meskipun approval rating nya tinggi. Namun paslon dari kelompok agama atau etnis minoritas bisa menang jika lawannya yang berasal dari kelompok mayoritas terbelah. Menurut Burhanuddin Muhtadi, ini terjadi di Kalimantan Barat ketika Cornelis sukses mengalahkan para kompetitornya di 2007 dan 2012.
Penutup
Perilaku memilih merupakan gejala yang kompleks. Keputusan memilih ditentukan oleh banyak faktor. Seorang calon yang berasal dari kelompok identitas primordial tertentu belum tentu dapat menarik suara mayoritas di kelompoknya sendiri. Hal ini bisa terjadi karena, selain faktor identitas, pemilih juga mempertimbangkan faktor-faktor lain, terutama kualitas personal calon.
Intinya, dinamika politik lokal sering kali membuka ruang mobilisasi politik identitas. Tentu naif jika kita berharap kontestasi elektoral akan sepi dari mobilisasi politik identitas yang berbasis agama dan etnis.
Untuk konteks Pilkada Sulawesi Tengah, agama bukan menjadi prediktor signifikan, tetapi lebih pada etnisitas. Disisi lain, disamping maraknya politik uang, maka problem kerawanan politik elektoral yang disinyalir cukup tinggi semestinya harus menjadi perhatian para elite politik lokal. Sekalipun begitu, tugas lain yang mendesak untuk dibenahi adalah bahwa kita jangan berhenti untuk mendorong calon pejabat publik agar berorientasi pada gagasan yang visioner dengan pendekatan rasional untuk meyakinkan publik pemilih agar masa depan demokrasi di Sulawesi Tengah tercerahkan.
Dan ini juga merupakan beban dari tiga pasangan calon yang telah bisa dipastikan akan berlaga di Pilkada Sulawesi Tengah November 2024. Karena itu, kita harus bersepakat bahwa dari pemilih yang cerdas akan lahir Gubernur Sulawesi Tengah dan Wakil Gubernur Sulawesi Tengah yang berkualitas. ***
Penulis adalah Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta