View this post on Instagram
TRIO bencana di Palu, Sigi, Donggala dan Parigi Moutong telah berlalu lima tahun. Lima tahun pula petani di sebagian besar wilayah yang dialiri oleh saluran irigasi Gumbasa pontang panting mencari kehidupan.
Irigasi itu rusak akibat bencana, dan ironisnya karena sumber penghidupan bagi penduduk di delapan kecamatan di Sigi yang dialirinya benar-benar hanya bisa mengandalkan suplai air untuk pertanian dari irigasi tersebut.
“Terpaksa beli mesin untuk menyedot air, karena kalau tidak begitu, kami tidak bisa mengolah lahan. Tidak ada air,” kata Bijak, sebutlah namanya begitu, seorang petani di Desa Sidondo, Senin (13/11/2023).
Tak hanya merogoh kocek untuk beli mesin penyedot air, sebagian petani pun hanya bisa menanam tanaman palawija jangka pendek yang kebutuhan airnya relatif tidak begitu banyak dibanding sawah padi.
“Ya beli beras, mau dapat dari mana beras kalau tidak beli. Padahal dulunya, sebelum gempa, kita ini petani padi, penghasil beras, sekarang malah pembeli beras” sebut Bijak sambil tertawa (hebat, susah tapi masih tetap bisa tertawa).
Badan Pusat Staistik (BPS) mencatat, 2017 lalu atau sebelum bencana, produksi beras di Sigi mencapai 115.878 ton. Namun di 2019 atau setahun setelah bencana, produksi beras terjun bebas hingga hampir setengahnya, yakni hanya sebesar 64.949 ton.
Bijak mengaku, di desanya, sebagian besar lahan yang ada tidak diolah alias tidak produktif karena faktor ketersediaan air, dan itu berlangsung sejak lima tahun lalu. Petani yang bisa mengolah lahan hanyalah mereka yang bisa membeli mesin penyedot air.
“Kami sangat tergantung dari mesin ini. Kalau ini juga tidak ada, entah bagaimana kehidupan kami,” kata Bijak lirih.
Kementerian PUPR telah berusaha mengebut penyelesaian proyek rehabilitasi dan rekonstruksi irigasi tersebut. Tapi seperti kebanyakan, tak semudah membalik telapak tangan, selalu saja ada kendala dalam pelaksanaannya.
Tapi bersyukurlah karena proyek itu telah berhasil menyelesaikan tahap pertamanya dan itu berarti “derita” petani mulai dari Desa Gumbasa hingga Desa Pandere sedikit banyaknya telah berkurang dengan mengalirnya kembali air di irigasi tersebut.
Lalu bagaimana dengan Desa Pandere ke bawah hingga ke Biromaru? Itulah pertanyaan besarnya.
Sekali lagi, Kementerian PUPR melalui pelaksananya di lapangan tentu tidak menapikan itu. Bahkan sejak proyek tahap kedua itu diluncurkan, saban hari terlihat para pekerja berjibaku dengan panas dan hujan di sepanjang jalur pekerjaan irigasi tersebut.
Kita berharap saja, irigasi yang sebagian besarnya terlihat sudah menyelesaikan tahap pekerjaan pembuatan saluran dapat segera dialiri air kehidupan. (bmz)
Tulisan ini juga ditayangkan di pojokSIGI