View this post on Instagram
HIYAAA… hiyaaa… Begitu teriak joki ketika bendera start diangkat petugas sebagai tanda lomba karapan sapi itu dimulai. Empat pasang sapi yang dikendarai masing-masing sepasang joki melaju kencang di atas lintasan sepanjang 350 meter.
Ya, karapan sapi rutin itu kali ini digelar di Desa Tinggede, Kecamatan Marawola, Kabupaten Sigi sejak beberapa hari lalu. Sebelumnya, hal yang sama juga dilakukan di desa tetangganya, Binangga.
Karapan sapi adalah tradisi rutin yang dilakukan oleh masyarakat Kaili setiap usai panen. Kali ini, panen musim kedua di 2023. Belakangan, bukan hanya warga dalam entitas Kaili yang mengambil bagian dalam lomba itu, entitas masyarakat lainnya yang berdiam di lembah Palu juga ikut serta.
Karapan sapi di Desa Tinggede ini diikuti ratusan ekor sapi dari berbagai desa sekitar di Sigi. Bisa jadi, kepesertaan itu sebagai balasan atas kehadiran tuan rumah saat lomba yang sama digelar di desa lainnya.
“Mereka akan datang dan menjadi peserta karena membalas kedatangan kami sebelumnya di desa pada lomba yang sama,” ujar salah seorang peserta sebelum lomba itu dimulai.
Karapan sapi di desa-desa di Sigi ini sudah berlangsung turun temurun, setidaknya di lembah Palu dimulai di Taman Ria Palu pada zaman doeloe dan terus berlangsung hingga ke desa-desa secara bergiliran.
“Mari kita arahkan pandangan ke garis start. Sang Dewi Cinta (nama sapi) sudah bersiap berlari di garis start,” kata pemandu lomba melalui pengeras suara.
Pengumuman itu sontak mengarahkan mata jubelan warga yang menonton kompetisi tradisional itu. Di antaranya ada yang histeris dengan teriakan dukungannya. Ada pula yang loncat-loncat karena sapi idolanya memimpin di depan.
Ada yang menang dan ada yang kalah. Begitulah kompetisi, namun semua menerimanya.
“Sebenarnya bukan menang atau kalahnya, tapi silaturahminya yang jalan dan menguat,” kata seorang tetua di wilayah itu. Itu pula katanya yang membuat tradisi karapan sapi itu tetap hidup dan langgeng hingga era digital ini.
Ya, Karapan sapi tidak saja menjadi penanda tradisi dan budaya setempat, tetapi sekaligus menjadi perekat kekeluargaan dan merajut silaturahmi. (bmz)
Tulisan ini juga terbit di pojokSIGI