View this post on Instagram
SESUNGGUHNYA tidak ada rencana sebelumnya untuk mendokumentasikan “kehidupan baru” warga sub etnis Inde yang kini berdiam permanen di Desa Poi, Dolo Selatan, Kabupaten Sigi ini.
Kehidupan mereka tetiba menjadi inspirasi saat melintas menyusuri Sungai Poi yang kerap mengamuk dengan banjir bandangnya untuk melihat langsung 1000 pohon bambu yang ditanam warga atas inisiasi Mercy Corp Indonesia.
Letak pemukiman yang dihuni lebih kurang 30 kepala keluarga di bukit yang mereka namakan dengan “Bukit Kasih” itu cukup menohok pandangan. Letaknya yang agak tinggi, lalu berada dalam rerimbunan pohon kelapa, dengan rumah-rumah yang posisinya berundak-undak, plus kemilau atap seng semakin menarik perhatian.
Awalnya ragu, namun setelah masuk dan berbaur dengan mereka, rasa-rasanya makin hangat dengan sapaan-sapaan akrab, meski kadang harus kelimpungan sendiri menerjemahkan bahasa Inde yang jarang terdengar. Ya, dari 13 sub etnis yang menggunakan bahasa Kaili, sub Inde inilah yang baru kali ini terdengar diucap langsung penggunanya yang notabene hidup nomaden di pegunungan.
Cukup lama ngilar ngidul dengan mereka, dan keramahtamahannya terhadap “orang luar” semakin memantik hasrat untuk tahu lebih banyak tentang kehidupan mereka terutama alasan yang membuatnya “hijrah” dari pegunungan ke daratan rendah semacam Poi, dan kenapa harus di Desa Poi.
Salah seorang dari mereka sempat menyebut namanya, tapi sayang sekali tidak jelas harfiahnya sehingga tidak dapat dituliskan. Namun begitu, dari penuturannya ia hendak berkata bahwa kehidupan di pegunungan makin sulit. Dulu katanya, terutama di wilayah yang ditandainya sebagai Kamantaya, tidak ada uang tidak ada masalah karena masih banyak sumber-sumber penghidupan di atas gunung, bisa berkebun, menanam ubi, berburu babi dan sebagainya.
“Tapi sekarang sudah susah,” ujarnya sembari menyeka bibirnya yang terus menguyah sirih.
Bukan alasan itu saja, mereka sadar bahwa perubahan akan terus terjadi dan cepat atau lambat akan menyasar semua bagian dan penjuru tak terkecuali mereka yang berada di pegunungan dan pelosok. Mereka berkeyakinan, perubahan itu harus disambut dengan mempersiapkan diri, terutama generasinya di masa datang.
“Anak-anak juga harus sekolah supaya pintar. Kalau tinggal di gunung, mana bisa sekolah. Kalau bisa anak-anak jangan sama dengan kami-kami inilah, dia harus lebih baik” sebutnya.
Dilandasi keyakinan dan kesadaran untuk menyambut hari depan yang lebih baik itu, mereka kemudian berusaha agar kebiasaan hidup nomaden yang dipraktikannya turun temurun, sedikit demi sedikit ditinggalkan. Mereka mencari kehidupan baru tanpa harus melakukan perambahan.
Mereka bersykur karena ada tempat bagi mereka untuk memulai kehidupan baru itu, walau mereka juga menyadari jika tak jarang mereka mendapat perlakuan tak wajar karena dinilai sebagai orang gunung.
Meski sudah hidup dengan “suasana baru” namun beberapa kebiasaan yang selama ini dipraktikkan tetap dijalankan. Arsitektur rumah yang dibuatnya pun masih menyerupai rumah-rumah pohoh seperti kebanyakannya di pedalaman hutan-hutan dengan tiang-tiang tinggi menjulang.
Tidak banyak yang mereka harap dari kehidupan baru itu selain perubahan yang membuat mereka bisa hidup lebih layak seperti kebanyakan warga negara Indonesia lainnya. Mereka adalah saudara kita juga.. (bmz)
Artikel ini juga ditayangkan di pojokSIGI