
JAKARTA, beritapalu | Koalisi Keadilan Iklim (KKI) mengamati, sejak pendaftaran bakal calon presiden dan calon wakil presiden ke Komisi Pemilihan Umum, nyaris tak terlihat ketiga pasang capres (Anies – Muhaimin, Ganjar – Mahfud, dan Prabowo – Gibran) menempatkan krisis iklim dan pemulihan lingkungan hidup sebagai agenda prioritas.
Bahkan menurut KKI, narasi soal penyelamatan lingkungan sepi dari percakapan elektoral kandidat dan dalam berbagai kunjungan mereka hingga kini menjelang masa kampanye. Padahal menurutnya, dengan dampak krisis iklim yang kian memburuk, praktis hanya punya waktu sampai 2030 untuk benar-benar bisa berbuat sesuatu membalikkan keadaan.
Artinya, kebijakan yang akan mengurangi dampak krisis iklim serta mengurangi penyebab terjadinya krisis, dinilai sangat mendesak.
KKI yang terdiri dari Yayasan Pikul, Yayasan Madani Berkelanjutan, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Kemitraan untuk Pembaharuan Tata Kelola (KEMITRAAN), melihat dokumen visi-misi kandidat capres yang beredar ke publik, belum cukup kuat sebagai pondasi kebijakan jangka panjang dalam menangani dampak perubahan iklim.
Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Nadia Hadad menilai, agenda iklim dan lingkungan hidup dalam dokumen visi-misi para capres tidak tegas meletakkan pondasi serta mengubah haluan ekonomi yang memastikan bahwa kondisi iklim atau krisis iklim bisa teratasi.
“Dokumen visi-misi mereka (capres) tidak ngoming jangka panjang untuk generasi masa depan. Jadi mikirnya itu masih dengan pola ekonomi yang sekarang, pola ekonomi yang ekstraktif, sangat tergantung pada energi fosil, belum ada ketegasan untuk mencegah deforestasi dan mempertahan sisa hutan yang ada,” kata Nadia.
Yayasan Madani bersama koalisi telah menganalisis dokumen visi-misi para capres. Dari sekian banyak janji, sejumlah klaster kebijakan di dalamnya yang terkait langsung dengan perubahan iklim dan lingkungan hidup masih menyisakan banyak catatan bahkan kekurangan.
“Misalnya pada klaster perubahan iklim, belum ada paslon yang tegas berkomitmen mencegah kenaikan suhu bumi di atas 1,5 derajat sesuai dengan arahan ilmu pengetahuan terbaru,” kata Nadia.
Di klaster kebijakan transisi energi, penggunaan bahan bakar fosil ternyata masih juga didorong, melalui eksplorasi dan pembangunan kilang minyak bumi baru dan hilirisasi batubara.
“Atau rambu pengaman supaya transisi energi tidak bertolak-belakang dengan upaya menjaga hutan dan hak-hak masyarakat. Jangan sampai hutan gundul dan hak masyarakat terlindas demi proyek-proyek transisi energi,” lanjut Nadia.
Lalu kebijakan hutan dan deforestasi. Masa depan hutan masih akan dihadang oleh ambisi pembangunan haus lahan yang juga didorong oleh Paslon, seperti ekspansi pertambangan untuk transisi energi, bioenergi, ekstensifikasi lahan perkebunan, food estate, hingga IKN.
“Komitmen perlindungan dan restorasi lahan gambut juga masih minim,” katanya.
Kesimpulan KKI ini persis juga ditemukan dalam riset Monash Climate Change Communication Research Hub/MCCCRH Indonesia Node. Berdasarkan riset dokumen visi-misi pasangan calon presiden dan calon wakil presiden 2024, fokus para kandidat pada pada perubahan iklim dan pelestarian lingkungan sangat kecil.
Dengan menggunakan empat kata kunci “lingkungan”, “iklim”, “ekologi”, dan “energi”, ternyata dokumen visi-misi ketiga pasang capres hanya memuat sekitar 1% kata-kata yang terafiliasi dengan kebijakan perubahan iklim dan lingkungan.
Pasangan Ganjar-Mahfud paling banyak mencantumkan keempat kata tersebut yakni sebanyak 47 kata atau sekitar 1,09%, diikuti oleh pasangan Anies-Muhaimin sebanyak 44 kata (0,6%) dan pasangan Prabowo-Gibran sebanyak 44 kata (0,58%).
“Lagi-lagi isu perubahan iklim dan lingkungan bukan menjadi prioritas, meski ancaman dan dampak perubahan iklim sangat nyata kita rasakan,” ungkap Chair Monash Climate Change Communication Research Hub – Indonesia Node, Ika Idris.
Menurutnya, pemanasan global dan mengatasi perubahan iklim sebenarnya agenda global yang berdampaknya ke semua orang, dari desa ke kota. Di kota terdampak oleh polusi udara, sementara di pelosok merasakan dampak kekeringan dan gagal panen.
“Karenanya pemilu inilah saatnya untuk kita menilai mana kandidat yang memang komitmen terhadap isu perubahan iklim yang berdampak pada kita semua,” tegas Ika.
Sementara masa kampanye hanya 75 hari, dianggap waktu yang sangat singkat bagi para kandidat menyampaikan gagasan politiknya terkait iklim dan lingkungan hidup. Apalagi sasasarannya anak muda milenial dan generasi Z yang merupakan pemilih mayoritas pada pemilu 2024 sebanyak 56,45% dari total keseluruhan pemilih. Dalam berbagai survei, yang paling banyak bersuara dan paling berkepentingan untuk masa depannya ialah anak-anak muda. Mereka menempatkan masalah perubahan iklim dan lingkungan hidup menjadi masalah penting dan teratas yang harus ditangani.
Realitas itu pun tercermin dari penelitian Center of Economic and Law Studies (CELIOS) dan Unity of Trend (UniTrend). Survei terhadap 1.245 responden pada rentang tanggal 31 Maret 2023 – 15 April 2023, menemukan bahwa secara umum, 81% masyarakat Indonesia setuju bahwa pemerintah perlu mendeklarasikan kondisi darurat iklim. Jika dilihat dari daerah tempat >nggalnya, masyarakat yang tinggal di lingkungan perkotaan (89%) dan pinggiran kota (88%) cenderung lebih setuju jika pemerintah mendeklarasikan kondisi darurat iklim dibandingkan dengan masyarakat di pedesaan (74%).
“Studi ini menemukan bahwa Generasi Z dan Millenial dengan rentang usia 15-34 tahun paling banyak berpersepsi bahwa krisis iklim adalah hal yang nyata. Dan 60% masyarakat menilai pemerintah belum mampu merumuskan kebijakan yang dapat mencegah krisis iklim di Indonesia,” tulis laporan riset tersebut.
Ketua Umum Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia atau SIEJ Joni Aswira mengatakan, saat ini yang dibutuhkan oleh generasi muda ialah melimpahnya buah pikir para kandidat untuk bicara tentang masa depan lingkungan bagi generasi muda. Joni berharap ruang-ruang gagasan itu dapat diinisiasi oleh berbagai pihak dan mestinya disambut pula oleh para kandidat.
“Sebab kita ingin menilai mana capres yang peduli dan berkomitmen dan mana yang tidak. Swing voter kita masih tinggi. jangan-jangan mayoritas di dalamnya adalah anak muda yang risau dengan dampak krisis iklim,” kata Joni.
SIEJ tambahnya, tengah menyelenggarakan Green Press Community selama 8-9 November 2023 di Jakarta. Forum yang mempertemukan semua stakeholder untuk membicarakan isu ini. Bahkan menyediakan ruang khusus untuk para capres berbagi gagasannya.
“Namun sayangnya, bagi kandidat capres isu-isu seperti ini memang masih kalah seksi dibanding seremoni politik,” katanya. (afd/*)