Tidak dengan Gawai, tapi Bermain dengan Tilalako

 

View this post on Instagram

 

A post shared by pojokSIGI (@pojoksigi)


DI zaman “now” ini, langka untuk bisa menemukan kerumunan anak-anak sedang bermain di kawasan pemukiman atau di gang-gang padat penduduk. Yang banyak terlihat setidaknya anak yang duduk sendiri sendiri sembari memainkan gawai di tangannya.

Tapi ini sangat kontras, hanya tiga orang anak namun suaranya cukup meriuhkan suasana di halaman sebuah rumah yang cukup lapang di Desa Balane, Kecamatan Kinovaro, Kabupaten Sigi, Kamis (5/10/2023) lalu.

Anak-anak itu sedang bermain “Tilalako”, sebutan permainan tradisional yang terbuat dari sepasang bilah bambu.

Bambu sepanjang sekitar satu sampai dua meter itu dibuat sepasang dan dilengkapi dengan pijakan di kedua sisinya agar dapat dinaiki dan digunakan untuk berjalan. Di desa tersebut, permainan itu disebut Tilalako atau istilah umumnya di tempat lain Engrang atau Egrang.

Hampir semua anak di kisaran tujuh tahun ke atas di desa itu bisa memainkan Tilalako itu. Tapi jangan salah, memainkan permainan anak tradisi ini tidak segampang yang dibayangkan. Jika salah, risikonya pasti cedera karena tersandung dan lalu terjatuh.

Tapi bagi bagi anak-anak setempat, kemahiran bermain Tilalako adalah warisan dari tetua-tetua mereka. Hanya diperlukan sedikit keberanian untuk memainkannya. “Ini belajar sendiri,” aku salah seorang anak tersebut.

Nyaris saban hari anak-anak itu memainkan Tilalako itu, terutama pada sore hari di hari tidak sekolah atau libur. Kerennya lagi karena permainan tradisional itu masih tetap dipertahankan hingga tulisan ini dibuat.

Tilalako memang tradisional tapi ia adalah identitas, Tilalako adalah perekat tradisi, dan Tilalako adalah kegembiraan bagi anak-anak. Ia akan meninggalkan cerita yang selalu dirindukan. Teruslah merawat dan menjaganya. (bmz)

Artikel ini juga ditayangkan di pojokSIGI